BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi Tasyri’ Pada Periode Imam-Imam Mujtahid
Pada masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin, hukum senantiasa berjalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan Pemerintah, karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pimpinan negara. Namun ketika pimpinan negara bepindah ketangan Bani Umayyah, maka perkembangannya menunjukan arah yang berlaian karena pada masa itu lembaga umara dan ulama telah berpisah.
Pada masa Bani Umayyah perselisihan sering terjadi sebagai akibat dari adanya pertentangan politik dan perebutan kekuasan yang memberikan pengaruh tidak kecil terhadap perkembangan hukum. Hukum pada hakikatnya menjadi tempat kembali bagi piak yang berselisih, namun sejak zaman Muawiyah berubah menjadi alat dan pelindung bagi penguasa. Akibatnya tidak dapat diperoleh dari pemegang kekuasaan, sehingga masyarakat mencari ke tempat lain yaitu kepada ulama yang memiliki pengetahuan yang luas tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kecenderungan masyarakat untuk meminta fatwa kepada ulama, di samping sulitnya mendapat fatwa hukum yang adil dan benar dan interes politik, juga karena perhatian pemerintah Muawwiyah pada tahun awal sebagian besar tersita pada urusan peperangan dengan negara lain, khusunya Bizantium. Olehnya itu perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapatkan pengaruh dari keputusan para qadhi dan fatwa ahli huum di luar pemerintahan.
Kondisi ini telah berubah setelah kekuasaan beralih ke tangan Bani Abbasiyah, agama bukan hanya penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan utama bagi negara. Dalam kondisi ini tidk heran apabila ahliteolog dan ahli agama berkumpul di istana pemerintahan, karena hukum dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan petunjuk agama. Jadi pada masa ini segala hal yang berhubungan dengan kelmbagaan negara, administrasi peradilan dengan segala macam transaksi harus memenuhi tuntunan dan tuntunan kegamaan.
Periode ini di mulai pada awal abad II H dan berakhir pada abad IV H. Proses perkembangan sekitar 250 tahun. Pada periode inilah gerakan peulisan dan pembukuan hukum hukum islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hadist-hadist nabi, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi’in, tafsi Al-Qur’an, fiqh para imam Mujtahid serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasikan dalam suatu bentuk pembukuan. Jadi pada periode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum islam.
Kondisi hukum pada masa itu menjadi satu kesatuan yang independen dan telah berkembang menjadi matang hingga membutuhkan perbendaharaan hukum. Olehnya pemrintah islam, kay dengan hukum sesuai dengan kekuasaan wilayah dan berbagai macam problematika yang timbul serta banyaknya kemaslahatan yang di pertimbangkan.
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tasyri Pada Periode Imam Mujtahid.
Perhatian para Khalifah terhadap Fiqh dan Fuqaha
Para khalifah Abbasiyah tidak membatasi perhatianya terhadap politik saja sebagaimana pada masa Umayyah, akan tetapi lebih menekankan langkah agama. Demikian pula mereka tidak menyepelak posisi para fuqaha seperti yang dilakukan oleh para khalifah, misalnyah : Abu Ja’far al-Mansur memberi mereka berbagai hadiah. Al-Mahdi dan khalifah sesudahnya menjauhkan kaum zindiq dan menyiksanya, serta al-Rasyid mengkhususkan Abu Yusuf (salah seorang murid dari Imam Abu Hanifah) sebagai teman bergaul. Demikian pula al-Makmun bergaul bersama ulama dalam diskusi ilmiah. Jadi dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa perhatian terhadap fiqh dan fuqaha ini telah memberikan pengaruh yang jelas dalam pembentukan hukum, terutama situasi yang diorientasikan oleh para hakim, sehingga apa yang dianjurkan oleh para hakim. Masyarakat cepat merealisasikan tujuan mereka.
Kebebasan Berfikir
Kebebasan berfikir yang dialami pada masa ini, sangat besar karena pada saat mereka berijtihad dalam mengetahu suatu hukum mereka bebas dengan tenang tanpa dibatasi suatu kekuatan yang membatasi pendapatnya. Namun yang menjadi sumber rujukannya tetap pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada waktu itu pemerintah tidak mengharuskan pembentukan undang-undang khusus dalam hukum dan tidak ada mazhab tertenu dalam fiqh, sehingga dalam satu masalah yang dihadapkan kepada para fuqaha akan diperoleh lebih dari satu fatwa hukum, karena pada masing-masing qadhi dan para mufti berfatwa dengan pendapat hasil ijtihad mereka.
Luasnya Wilayah Kekusaan Islam
Pada priode ini kekuasaan Islam telah meliputi berbagai macam bangsa dengan latar belakang tradisi dan sastra sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Wilayah kekuasaan tersebut berkembang luas ke Timur hingga menembus sampai ke negri Andalusia. Penduduk yang sangat luas ini sudah merupakan keharusan adanya undang-undang yang di jadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama para qadhi dan gubernur, dengan ketetapan bahwa undang-undang dan pemberian fatwa tetap bersumberkan syariat.
Oleh karena itu ulama berusaha memberikan segenap kemampuannya mengembangkan seluruh permasalahan yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Karena di suatu negara banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan. Jadi para ulama berusaha memisahkan apa yang dihadapinya, sebagian diterima, dan sebagian juga ditolak sampai kebiasaan hidup itu berubah menjadi bercorak Islami. Sehingga banyak hukum-hukum bersumber dari hadist dan adat, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu.
C. Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh
Di permulaan periode Bani Abasiyah lahirlah imam-imam mujtahid yang kenamaan dari golongan ahli hadis dan ahli qiyas yang mempunyai pengikut masing-masing dan yang dibukukan fatwa-fatwanya. Karena perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran setiyap wilayah, pemikiran hukum Islam berkembang kedalam sejumlah madzhab pemikiran yang berbeda, diantaranya para imam mujtahidin yang muncul pada periode ini adalah imam empat, yang sampai saat ini madzhabnya masih dianut umat Islam.
Madzhab pemikiran Irak, misalnya lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hukum ketimbang madzhab Madinah, yang bersandar pada hadis. Tokoh paling otoritatif dalam madzhab ini adalah Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Nu’man ibn Tsabit. Abu Hanifah menjadi ahli hukum pertama dan paling berpengaruh dalam Islam. Abu Hanifah sebenarnya bukanlah orang yang pertama mengenalkan, meskipun menekankan, prinsip deduksi analogis yang menghasilkan apa yang kita sebut sebagai fiksi hukum. Ia juga menekankan prinsip “preferensi” atau yang kita sebut istihsan, yang melepaskan pada analogi untuk mengejar keadilan yang lebih besar. Ia menjadi pendiri madzhab hukum Islam yang paling awal, terbesar dan yang paling toleran.
Pemimpin madzhab Madinah yang lebih akrab dengan kehidupan dan pola pikir Nabi, adalah Malik ibn Anas penulis kitab al-Muwatha’. Kitab tersebut merupakan kitab hukum Islam tertua yang pernah ditemukan. Berisi hadis-hadis hukum, menghimpun sunah-sunah Nabi, membuat rumusan pertama tentang ijma’ (konsensus) masyarakat Madinah, dan menjadi kitab hukum madzhab maliki.
Antara madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah, menerima pemikiran spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab itu didirikan oleh Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.Ia belajar pada Imam Malik, Madzhab ini juga diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Madzhab terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah madzhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, murin Syafi’I dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai inovasi kalangan muktazilah. Beliau menjadi korban inkuisisi (mihnah). Karyanya adalah kitab Musnad ibn Hanbal.
D. Perkembangan Fiqh Pada Masa Mujtahidin (Fiqh Madzhahib)
Akhir abad pertama muncul mujtahid-mujtahid dalam furu’, yang diantara lain ialah :
Madzhab Abu Hanifah
Madzhab ini yang pertama kali muncul di kalangan Madzhab Sunni terkenal dengan madzhab yang sangat banyak mempergunakan ra’yu. Madzhab ini dinisbahkan kepada mujtahid yang menjadi imamnya Abu Hanifah An-Nu’maan Ibn Tsabit, asli dari Parsi, lahir di Kufah tahun 80H/699M dan wafat tahun 150H /676M. Dalam ijtihadnya selain berpegang kepada Al-Qur’an, Al-Hadist, Al-Ijma dan Al-Qiyas beliau memakai dalil Al-Istihsan sebagai dalil yang khusus.
Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang banyak diikuti terutama di zaman Abbasiyah dan menjadi madzhab resmi pemerintahan Utsmaniyah.
Pada masa mujtahidin dan pengikut-pengikutnya, maudlu’ fiqh disusun secara keseluruhan, walaupun sudah ada suatu maudlu’ yang disusun tersendiri, selain secara fiqh menyeluruh, seperti kitab Al-Kharaaj (mengenai pajak) oleh Abu Yusuf.
Madzhab Maliki
Madzab ini lahir di Hijaz, Madinah dengan tokoh yang menjadi imam madzhabnya bernama Malik Ibn Anas (95-179H / 713-759M). Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Pegangan dalam beristinbath hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyaas, juga dipakai Al-Mashlahatul Mursalah, yang merupakan pengecualian dari hukum-hukum umum karena untuk mencapai kemaslahatan juga karena darurat. Selain itu juga berpegang teguh kepada Qaul Shahabidan adat yang diikuti Madinah.
Madzhab As-Syafi’i
Tokoh yang menjadi imam madzhab ini ialah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204H/767-819M). Madzhab ini merupakan pertengahan antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki dalam mempergunakan Qiyas dan Hadist. As-Syafi’i dalam beristinbath hukumnya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kepada Al-Ijma’ dan Al-Qiyas, beliau menolak Al-Istihsan dari Hanafi dan menolak Al-Mashlahatul Mursalah dari Maliki.
As-syafi’i ialah orang yang pertama kali yang menyusun kitab Ushulul Fiqh secara disiplin dengan nama kitabnya Ar-Risaalah, yang dijadikan dasar dalam beristinbath. Di Indonesia kita banyak menjumpai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah lebih banyak dari pada kitab madzhab fiqh lainnya.
Madzhab Ahmad Ibn Hanbal
Madzhab ini sebagai madzhab terakhir diantara madzhab ahli Sunni yang masih banyak pengikutnya. Tokoh yang menjadi imamnya adalah Abdillah / Ahmad Ibn Hanbal (164-241H / 780-855M). Ahmad Ibn Hanbal ialah murid dari Asy-yafi’i yang berdiri sendiri mempunyai madzhab tersendiri.
Kitab susunan Ibn Hanbal ialah : Musnad yang terkenal dengan Musnad yang terkenal dengan Musnad Al-Imamu Ahmad dalam enam juz.
Madzhab Syi’ah
Madzhab Syi’ah timbul karena problem politk, yang menjadi dasar perbedaan pendapatnya ialah, bahwa khalifah itu hanya turunan Nabi. Madzhab Syi’ah terbagi menjadi 3, yakni :
Syi’ah Immamiyah Itsnaa ‘asyariyah
Madzhab ini berkeyakinan bahwa imamnya berjumlah 12, yang kedua belas bernama Muhammad Al-Mahdi Al-Muntadhar, yang hilang dan akan datang kemudian. Dalam hal fiqh, dasar fiqhnya adalah Al-Qur’anul Karim dan Hadist yang sanatnya dari ahli bait. Sedangkan Ijma’ adalah ijma’nya imam yang ma’shum, kemudian dengan aql, yang bukan qiyas.Madzhab Ja’fari yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (83-148H / 702-765 M).
Syi’ah Zaidiyah
Madzhab ini mengikuti pendapat Imam Zaid Ibnu Ali sebagai imam kelima. Madzhab ini berbeda dengan lainnya, mereka mengakui kekhalifahan Khulafa’ur-Rasyidin. Madzhab Zaidiyah ini diidentikan yang lebih dekat dengan Madzhab Sunni. Kitab fiqh terkenal dalam Madzhab Zaidiyah ialah antara lain : kitab Al-Majmuyang mengumpulkan fatwa dan riwayat dari Zaid Ibn Ali demikian pula kitab yang disusun oleh Syafruddin Husaein Ibn Ahmad Al-Hammi berjudul Ar-Radlu-n Nadliir.
Syi’ah Isma’iliyah
Madzhab ini disebut pula madzhab Batiniyah karena menganggap bahwa Al-Qur’an itu adalah ma’nanya yang batin. Mereka berhasil mendirikan kerajaan Fatmiyah di Afrika Utara pada abad ke 10M atau akhir abad 11H. Isma’illiyyah ini ada dua golongan : Timur dan Barat, timur berpusat di Hindia dengan pemimpinya Aga Khan, Karim dan Putranya Ali Khan di Eropa. Kitab fiqh Syi’ah Isma’illiyah berpegang kepada kitab Da’aa-imul Islam susunan Qadli An-Nu’maan Ibn Muhammad At-Tamimi (wafat 363 / 974 M)
Madzhab-Madzhab lain:
Madzhab Al-Auzaa’i
Pendirinya Abu Amr Abdurrahman Al-Auzaa’i (88-157 H/707-774 M). Madzhab ini mula-mula diikuti di Syiria dan Andalusia. Kemudian dengan kedatangan madzhab Maliki atau Syafi’i, madzhab Auza’i tidak lagi diikuti.
Madzhab Dzahiri
Tokoh pendirinya ialah Dawud Ibn Ali (wafat 270H / 883M), lahir di Kufah pada awal abad ketiga Hijri madzhab ini disebut Madzhab Dzahiri karena berpegang kepada Zhahir nas Al-Qur’an dan Sunnah. Pengikutnya yang terkenal ialah Ibnu Hassan yang menyusun kitab fiqh nya yang berjudul Al-Muhallas, dan kitab ushul fiqh nya berjudul Al-Ihkam fi Ush-shulil Ahkam.
Madzhab Al-Thabari
Tokoh pendirinya ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari (224-310H / 839-923M) penyusun kitab Tarikhul Umam wal-Muluk, kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, dan kitab Ihktilaf Al-Fuqaha’.
E. Analisis Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para Imam Mujtahid dan Terbentuknya Mahdzab – Mahdzab.
Pada periode Rasulullah SAW, tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan rujukan hukum hanya satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak muncul tokoh tasyri’ yang diantara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum, bahkan sikap dan fatwa para sahabat bermacam-macam mengenai suatu masalah saja. Perbedaan pandangan mereka juga terjadi karena cara mereka memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an berbeda-beda, karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Sikap dan cara pemahaman mereka terhadap hadis Nabi SAW, juga berbeda dan tidak sama. Terkadang diantara para sahabat ada yang berpegang kepada hadis Nabi SAW, sedang sahabat yang lain justru tidak berpegang kepada hadis Nabi SAW. Tetapi berdasarkan pada kemaslahatan yang terkandung dalam penetapan hukum. Dan juga kemaslahatan itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan llingkungan dimana tokoh-tokoh tasyri’ itu ia hidup dan menetap.
Hal-hal seperti ini yang merupakan penyebab terjadinya perbedaan pendapat dengan fatwa-fatwa para sahabat, walaupun mereka tetap sepakat mengenai sumber-sumber hukum dan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang umum. Artinya mereka berbeda hanya dalam persoalan furuiyah, cabang hukum saja dan tidak sampai pada persoalan ushul pokok-pokok tasyri’. Hukum islam beralih ke tangan generasi para imam mujtahid, karena perbedaan pendapat dikalangan para tokok tasyri’ semakin meluas hingga sampai pada persoalan sebab-sebab yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip bahasa dalam memahami suatu nas-nas syariat. Demikian perbedaan pendapat mereka, tidak terbatas hanya saja pada fatwa-fatwa dan masalah furu’, cabang hukum saja, tetapi sudah meliputi dasar-dasar tasyri’. Hal ini membuat setiap golongan dari pada mereka mempunyai mahdzab atau hukum tertentu yang terbentuk dari hukum-hukum furu’iyah yang diistimbatkan dari garis tasyri’ tertentu.
Perbedaan pendapat mengenai garis penetapan perundang-undang di kalangan para imam mujtahid ada tiga persoalan, yaitu :
Perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-sumber hukum.
Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’.
Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa yang sesuai dalam memahami nash-nash syariat.
Adapun perbedaan mereka dalam menetapkan sebagian sumber – sumber hukum yakni sebagai berikut :
Sikap dan cara berpegang pada sunnah dan standar yang dipergunakan untuk menguatkan riwayat atas riwayat yang lain. Berpegang pada sunnah didasarkan kepercayaan para periwayatnya dan cara periwayatanya. Para imam mujtahid Madinah, misalnya imam Malik (179H/798M) dan rekan-rekannya berpegang kepada hadis-hadis yang dipandang kuat oleh ahli fiqh Madinah tanpa diperselisihkan diantara mereka. Dan mereka meninggalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan amalan ahli fiqh Madinah.
Dalam hal fatwa-fatwa sahabat dan kedudukannya.
Para imam mujtahid berbeda pendapat mengenai fatwa-fatwa dari perindividu sahabat sebagai hasil ijtihad mereka. Abu Hanifah dan para pendukungnya berpendirian, mengenai hal ini, bahwa boleh mengambil fatwa mana saja. Namun hal ini juga tidak boleh bertentangan dengan fatwa mereka secara keseluruhan. Imam Syafi’i (204 H/820M) dan para pendukungnya berpendirian pada fatwa-fatwa sahabat yang bersifat ijtihad individu dari orang-orang yang tidak ma’sum. Perbedaan-perbedaan seperti ini menyebabkan timbulnya penetapan hukum yang berbeda-beda.
Dalam hal qiyas atau analogi
Sebagian imam-imam mujtahid dari kalangan Syi’ah dan Zhahiriyah menolak berhujjah dengan qiyas atau analogi. Mereka menolak qiyas sebagai sumber hukum dalam Islam. Sedang mayoritas imam-imam mujtahid berhujjah dengan qiyas dan menjadikannya salah satu sumber hukum islam setelah Al-Qur’an, Al-Hadis dan Ijma’. Mereka sepakat menjadikan qiyas sebagai dasar hujjah, namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang patut dijadikan illat hukum sebagai dasar penetapan hukum dalam qiyas.
PEMBAHASAN
Kondisi Tasyri’ Pada Periode Imam-Imam Mujtahid
Pada masa Rasulullah dan Khulafa’ al-Rasyidin, hukum senantiasa berjalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan Pemerintah, karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pimpinan negara. Namun ketika pimpinan negara bepindah ketangan Bani Umayyah, maka perkembangannya menunjukan arah yang berlaian karena pada masa itu lembaga umara dan ulama telah berpisah.
Pada masa Bani Umayyah perselisihan sering terjadi sebagai akibat dari adanya pertentangan politik dan perebutan kekuasan yang memberikan pengaruh tidak kecil terhadap perkembangan hukum. Hukum pada hakikatnya menjadi tempat kembali bagi piak yang berselisih, namun sejak zaman Muawiyah berubah menjadi alat dan pelindung bagi penguasa. Akibatnya tidak dapat diperoleh dari pemegang kekuasaan, sehingga masyarakat mencari ke tempat lain yaitu kepada ulama yang memiliki pengetahuan yang luas tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kecenderungan masyarakat untuk meminta fatwa kepada ulama, di samping sulitnya mendapat fatwa hukum yang adil dan benar dan interes politik, juga karena perhatian pemerintah Muawwiyah pada tahun awal sebagian besar tersita pada urusan peperangan dengan negara lain, khusunya Bizantium. Olehnya itu perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapatkan pengaruh dari keputusan para qadhi dan fatwa ahli huum di luar pemerintahan.
Kondisi ini telah berubah setelah kekuasaan beralih ke tangan Bani Abbasiyah, agama bukan hanya penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan utama bagi negara. Dalam kondisi ini tidk heran apabila ahliteolog dan ahli agama berkumpul di istana pemerintahan, karena hukum dan administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan petunjuk agama. Jadi pada masa ini segala hal yang berhubungan dengan kelmbagaan negara, administrasi peradilan dengan segala macam transaksi harus memenuhi tuntunan dan tuntunan kegamaan.
Periode ini di mulai pada awal abad II H dan berakhir pada abad IV H. Proses perkembangan sekitar 250 tahun. Pada periode inilah gerakan peulisan dan pembukuan hukum hukum islam mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Hadist-hadist nabi, fatwa-fatwa dari kalangan sahabat, tabi’in, tafsi Al-Qur’an, fiqh para imam Mujtahid serta berbagai risalah ilmu ushul fiqh telah dikodifikasikan dalam suatu bentuk pembukuan. Jadi pada periode ini merupakan puncak keemasan dalam sejarah pembentukan hukum islam.
Kondisi hukum pada masa itu menjadi satu kesatuan yang independen dan telah berkembang menjadi matang hingga membutuhkan perbendaharaan hukum. Olehnya pemrintah islam, kay dengan hukum sesuai dengan kekuasaan wilayah dan berbagai macam problematika yang timbul serta banyaknya kemaslahatan yang di pertimbangkan.
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tasyri Pada Periode Imam Mujtahid.
Perhatian para Khalifah terhadap Fiqh dan Fuqaha
Para khalifah Abbasiyah tidak membatasi perhatianya terhadap politik saja sebagaimana pada masa Umayyah, akan tetapi lebih menekankan langkah agama. Demikian pula mereka tidak menyepelak posisi para fuqaha seperti yang dilakukan oleh para khalifah, misalnyah : Abu Ja’far al-Mansur memberi mereka berbagai hadiah. Al-Mahdi dan khalifah sesudahnya menjauhkan kaum zindiq dan menyiksanya, serta al-Rasyid mengkhususkan Abu Yusuf (salah seorang murid dari Imam Abu Hanifah) sebagai teman bergaul. Demikian pula al-Makmun bergaul bersama ulama dalam diskusi ilmiah. Jadi dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa perhatian terhadap fiqh dan fuqaha ini telah memberikan pengaruh yang jelas dalam pembentukan hukum, terutama situasi yang diorientasikan oleh para hakim, sehingga apa yang dianjurkan oleh para hakim. Masyarakat cepat merealisasikan tujuan mereka.
Kebebasan Berfikir
Kebebasan berfikir yang dialami pada masa ini, sangat besar karena pada saat mereka berijtihad dalam mengetahu suatu hukum mereka bebas dengan tenang tanpa dibatasi suatu kekuatan yang membatasi pendapatnya. Namun yang menjadi sumber rujukannya tetap pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada waktu itu pemerintah tidak mengharuskan pembentukan undang-undang khusus dalam hukum dan tidak ada mazhab tertenu dalam fiqh, sehingga dalam satu masalah yang dihadapkan kepada para fuqaha akan diperoleh lebih dari satu fatwa hukum, karena pada masing-masing qadhi dan para mufti berfatwa dengan pendapat hasil ijtihad mereka.
Luasnya Wilayah Kekusaan Islam
Pada priode ini kekuasaan Islam telah meliputi berbagai macam bangsa dengan latar belakang tradisi dan sastra sosial serta kepentingan yang berbeda-beda. Wilayah kekuasaan tersebut berkembang luas ke Timur hingga menembus sampai ke negri Andalusia. Penduduk yang sangat luas ini sudah merupakan keharusan adanya undang-undang yang di jadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama para qadhi dan gubernur, dengan ketetapan bahwa undang-undang dan pemberian fatwa tetap bersumberkan syariat.
Oleh karena itu ulama berusaha memberikan segenap kemampuannya mengembangkan seluruh permasalahan yang terjadi kepada sumber-sumber hukum Islam. Karena di suatu negara banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan. Jadi para ulama berusaha memisahkan apa yang dihadapinya, sebagian diterima, dan sebagian juga ditolak sampai kebiasaan hidup itu berubah menjadi bercorak Islami. Sehingga banyak hukum-hukum bersumber dari hadist dan adat, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan hajat tertentu.
C. Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh
Di permulaan periode Bani Abasiyah lahirlah imam-imam mujtahid yang kenamaan dari golongan ahli hadis dan ahli qiyas yang mempunyai pengikut masing-masing dan yang dibukukan fatwa-fatwanya. Karena perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran setiyap wilayah, pemikiran hukum Islam berkembang kedalam sejumlah madzhab pemikiran yang berbeda, diantaranya para imam mujtahidin yang muncul pada periode ini adalah imam empat, yang sampai saat ini madzhabnya masih dianut umat Islam.
Madzhab pemikiran Irak, misalnya lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hukum ketimbang madzhab Madinah, yang bersandar pada hadis. Tokoh paling otoritatif dalam madzhab ini adalah Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Nu’man ibn Tsabit. Abu Hanifah menjadi ahli hukum pertama dan paling berpengaruh dalam Islam. Abu Hanifah sebenarnya bukanlah orang yang pertama mengenalkan, meskipun menekankan, prinsip deduksi analogis yang menghasilkan apa yang kita sebut sebagai fiksi hukum. Ia juga menekankan prinsip “preferensi” atau yang kita sebut istihsan, yang melepaskan pada analogi untuk mengejar keadilan yang lebih besar. Ia menjadi pendiri madzhab hukum Islam yang paling awal, terbesar dan yang paling toleran.
Pemimpin madzhab Madinah yang lebih akrab dengan kehidupan dan pola pikir Nabi, adalah Malik ibn Anas penulis kitab al-Muwatha’. Kitab tersebut merupakan kitab hukum Islam tertua yang pernah ditemukan. Berisi hadis-hadis hukum, menghimpun sunah-sunah Nabi, membuat rumusan pertama tentang ijma’ (konsensus) masyarakat Madinah, dan menjadi kitab hukum madzhab maliki.
Antara madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah, menerima pemikiran spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab itu didirikan oleh Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.Ia belajar pada Imam Malik, Madzhab ini juga diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Madzhab terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah madzhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, murin Syafi’I dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai inovasi kalangan muktazilah. Beliau menjadi korban inkuisisi (mihnah). Karyanya adalah kitab Musnad ibn Hanbal.
D. Perkembangan Fiqh Pada Masa Mujtahidin (Fiqh Madzhahib)
Akhir abad pertama muncul mujtahid-mujtahid dalam furu’, yang diantara lain ialah :
Madzhab Abu Hanifah
Madzhab ini yang pertama kali muncul di kalangan Madzhab Sunni terkenal dengan madzhab yang sangat banyak mempergunakan ra’yu. Madzhab ini dinisbahkan kepada mujtahid yang menjadi imamnya Abu Hanifah An-Nu’maan Ibn Tsabit, asli dari Parsi, lahir di Kufah tahun 80H/699M dan wafat tahun 150H /676M. Dalam ijtihadnya selain berpegang kepada Al-Qur’an, Al-Hadist, Al-Ijma dan Al-Qiyas beliau memakai dalil Al-Istihsan sebagai dalil yang khusus.
Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang banyak diikuti terutama di zaman Abbasiyah dan menjadi madzhab resmi pemerintahan Utsmaniyah.
Pada masa mujtahidin dan pengikut-pengikutnya, maudlu’ fiqh disusun secara keseluruhan, walaupun sudah ada suatu maudlu’ yang disusun tersendiri, selain secara fiqh menyeluruh, seperti kitab Al-Kharaaj (mengenai pajak) oleh Abu Yusuf.
Madzhab Maliki
Madzab ini lahir di Hijaz, Madinah dengan tokoh yang menjadi imam madzhabnya bernama Malik Ibn Anas (95-179H / 713-759M). Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Pegangan dalam beristinbath hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyaas, juga dipakai Al-Mashlahatul Mursalah, yang merupakan pengecualian dari hukum-hukum umum karena untuk mencapai kemaslahatan juga karena darurat. Selain itu juga berpegang teguh kepada Qaul Shahabidan adat yang diikuti Madinah.
Madzhab As-Syafi’i
Tokoh yang menjadi imam madzhab ini ialah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204H/767-819M). Madzhab ini merupakan pertengahan antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki dalam mempergunakan Qiyas dan Hadist. As-Syafi’i dalam beristinbath hukumnya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kepada Al-Ijma’ dan Al-Qiyas, beliau menolak Al-Istihsan dari Hanafi dan menolak Al-Mashlahatul Mursalah dari Maliki.
As-syafi’i ialah orang yang pertama kali yang menyusun kitab Ushulul Fiqh secara disiplin dengan nama kitabnya Ar-Risaalah, yang dijadikan dasar dalam beristinbath. Di Indonesia kita banyak menjumpai kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah lebih banyak dari pada kitab madzhab fiqh lainnya.
Madzhab Ahmad Ibn Hanbal
Madzhab ini sebagai madzhab terakhir diantara madzhab ahli Sunni yang masih banyak pengikutnya. Tokoh yang menjadi imamnya adalah Abdillah / Ahmad Ibn Hanbal (164-241H / 780-855M). Ahmad Ibn Hanbal ialah murid dari Asy-yafi’i yang berdiri sendiri mempunyai madzhab tersendiri.
Kitab susunan Ibn Hanbal ialah : Musnad yang terkenal dengan Musnad yang terkenal dengan Musnad Al-Imamu Ahmad dalam enam juz.
Madzhab Syi’ah
Madzhab Syi’ah timbul karena problem politk, yang menjadi dasar perbedaan pendapatnya ialah, bahwa khalifah itu hanya turunan Nabi. Madzhab Syi’ah terbagi menjadi 3, yakni :
Syi’ah Immamiyah Itsnaa ‘asyariyah
Madzhab ini berkeyakinan bahwa imamnya berjumlah 12, yang kedua belas bernama Muhammad Al-Mahdi Al-Muntadhar, yang hilang dan akan datang kemudian. Dalam hal fiqh, dasar fiqhnya adalah Al-Qur’anul Karim dan Hadist yang sanatnya dari ahli bait. Sedangkan Ijma’ adalah ijma’nya imam yang ma’shum, kemudian dengan aql, yang bukan qiyas.Madzhab Ja’fari yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (83-148H / 702-765 M).
Syi’ah Zaidiyah
Madzhab ini mengikuti pendapat Imam Zaid Ibnu Ali sebagai imam kelima. Madzhab ini berbeda dengan lainnya, mereka mengakui kekhalifahan Khulafa’ur-Rasyidin. Madzhab Zaidiyah ini diidentikan yang lebih dekat dengan Madzhab Sunni. Kitab fiqh terkenal dalam Madzhab Zaidiyah ialah antara lain : kitab Al-Majmuyang mengumpulkan fatwa dan riwayat dari Zaid Ibn Ali demikian pula kitab yang disusun oleh Syafruddin Husaein Ibn Ahmad Al-Hammi berjudul Ar-Radlu-n Nadliir.
Syi’ah Isma’iliyah
Madzhab ini disebut pula madzhab Batiniyah karena menganggap bahwa Al-Qur’an itu adalah ma’nanya yang batin. Mereka berhasil mendirikan kerajaan Fatmiyah di Afrika Utara pada abad ke 10M atau akhir abad 11H. Isma’illiyyah ini ada dua golongan : Timur dan Barat, timur berpusat di Hindia dengan pemimpinya Aga Khan, Karim dan Putranya Ali Khan di Eropa. Kitab fiqh Syi’ah Isma’illiyah berpegang kepada kitab Da’aa-imul Islam susunan Qadli An-Nu’maan Ibn Muhammad At-Tamimi (wafat 363 / 974 M)
Madzhab-Madzhab lain:
Madzhab Al-Auzaa’i
Pendirinya Abu Amr Abdurrahman Al-Auzaa’i (88-157 H/707-774 M). Madzhab ini mula-mula diikuti di Syiria dan Andalusia. Kemudian dengan kedatangan madzhab Maliki atau Syafi’i, madzhab Auza’i tidak lagi diikuti.
Madzhab Dzahiri
Tokoh pendirinya ialah Dawud Ibn Ali (wafat 270H / 883M), lahir di Kufah pada awal abad ketiga Hijri madzhab ini disebut Madzhab Dzahiri karena berpegang kepada Zhahir nas Al-Qur’an dan Sunnah. Pengikutnya yang terkenal ialah Ibnu Hassan yang menyusun kitab fiqh nya yang berjudul Al-Muhallas, dan kitab ushul fiqh nya berjudul Al-Ihkam fi Ush-shulil Ahkam.
Madzhab Al-Thabari
Tokoh pendirinya ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari (224-310H / 839-923M) penyusun kitab Tarikhul Umam wal-Muluk, kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, dan kitab Ihktilaf Al-Fuqaha’.
E. Analisis Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para Imam Mujtahid dan Terbentuknya Mahdzab – Mahdzab.
Pada periode Rasulullah SAW, tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum suatu masalah yang terjadi, sebab standar dan rujukan hukum hanya satu. Berbeda ketika periode sahabat sudah banyak muncul tokoh tasyri’ yang diantara mereka banyak terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum, bahkan sikap dan fatwa para sahabat bermacam-macam mengenai suatu masalah saja. Perbedaan pandangan mereka juga terjadi karena cara mereka memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an berbeda-beda, karena perbedaan tingkat dan kapasitas kecerdasan mereka dan perbedaan cara analisis mereka. Sikap dan cara pemahaman mereka terhadap hadis Nabi SAW, juga berbeda dan tidak sama. Terkadang diantara para sahabat ada yang berpegang kepada hadis Nabi SAW, sedang sahabat yang lain justru tidak berpegang kepada hadis Nabi SAW. Tetapi berdasarkan pada kemaslahatan yang terkandung dalam penetapan hukum. Dan juga kemaslahatan itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan llingkungan dimana tokoh-tokoh tasyri’ itu ia hidup dan menetap.
Hal-hal seperti ini yang merupakan penyebab terjadinya perbedaan pendapat dengan fatwa-fatwa para sahabat, walaupun mereka tetap sepakat mengenai sumber-sumber hukum dan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang umum. Artinya mereka berbeda hanya dalam persoalan furuiyah, cabang hukum saja dan tidak sampai pada persoalan ushul pokok-pokok tasyri’. Hukum islam beralih ke tangan generasi para imam mujtahid, karena perbedaan pendapat dikalangan para tokok tasyri’ semakin meluas hingga sampai pada persoalan sebab-sebab yang berkaitan dengan sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip bahasa dalam memahami suatu nas-nas syariat. Demikian perbedaan pendapat mereka, tidak terbatas hanya saja pada fatwa-fatwa dan masalah furu’, cabang hukum saja, tetapi sudah meliputi dasar-dasar tasyri’. Hal ini membuat setiap golongan dari pada mereka mempunyai mahdzab atau hukum tertentu yang terbentuk dari hukum-hukum furu’iyah yang diistimbatkan dari garis tasyri’ tertentu.
Perbedaan pendapat mengenai garis penetapan perundang-undang di kalangan para imam mujtahid ada tiga persoalan, yaitu :
Perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-sumber hukum.
Perbedaan mengenai pertentangan penetapan hukum dari tasyri’.
Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa yang sesuai dalam memahami nash-nash syariat.
Adapun perbedaan mereka dalam menetapkan sebagian sumber – sumber hukum yakni sebagai berikut :
Sikap dan cara berpegang pada sunnah dan standar yang dipergunakan untuk menguatkan riwayat atas riwayat yang lain. Berpegang pada sunnah didasarkan kepercayaan para periwayatnya dan cara periwayatanya. Para imam mujtahid Madinah, misalnya imam Malik (179H/798M) dan rekan-rekannya berpegang kepada hadis-hadis yang dipandang kuat oleh ahli fiqh Madinah tanpa diperselisihkan diantara mereka. Dan mereka meninggalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan amalan ahli fiqh Madinah.
Dalam hal fatwa-fatwa sahabat dan kedudukannya.
Para imam mujtahid berbeda pendapat mengenai fatwa-fatwa dari perindividu sahabat sebagai hasil ijtihad mereka. Abu Hanifah dan para pendukungnya berpendirian, mengenai hal ini, bahwa boleh mengambil fatwa mana saja. Namun hal ini juga tidak boleh bertentangan dengan fatwa mereka secara keseluruhan. Imam Syafi’i (204 H/820M) dan para pendukungnya berpendirian pada fatwa-fatwa sahabat yang bersifat ijtihad individu dari orang-orang yang tidak ma’sum. Perbedaan-perbedaan seperti ini menyebabkan timbulnya penetapan hukum yang berbeda-beda.
Dalam hal qiyas atau analogi
Sebagian imam-imam mujtahid dari kalangan Syi’ah dan Zhahiriyah menolak berhujjah dengan qiyas atau analogi. Mereka menolak qiyas sebagai sumber hukum dalam Islam. Sedang mayoritas imam-imam mujtahid berhujjah dengan qiyas dan menjadikannya salah satu sumber hukum islam setelah Al-Qur’an, Al-Hadis dan Ijma’. Mereka sepakat menjadikan qiyas sebagai dasar hujjah, namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang patut dijadikan illat hukum sebagai dasar penetapan hukum dalam qiyas.
0 Komentar