UPAYA PAKSA: PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, PEMERIKSAAN SURAT DAN PEMERIKSAAN BERKAS dalam Hukum Acara Pidana

Recent Posts

UPAYA PAKSA: PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN, PENYITAAN, PEMERIKSAAN SURAT DAN PEMERIKSAAN BERKAS dalam Hukum Acara Pidana

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam rangka mencapai tujuan hukum pidana maka dibentuklah lembaga-lembaga hukum yang sengaja dibuat oleh negara untuk menindak tegas apabila telah terjadi pelanggaran hukum pidana seperti lembaga kepolisian yang menduduki posisi sebagai aparat penegak hokum dan kepada kepolisian diberikan peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal general prolicing authority in criminal matter diseluruh wilayah negara.
Kepolisian merupakan aparat penegak hukum yang mengawali proses dalam sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP, dalam menjalankan tugasnya kepolisian meimiliki berbagi langkah diantaranya adalah UPAYA PAKSA. Akan tetapi KUHAP tidak mengenal istilah upaya paksa, namun istilah upaya paksa diidentikkan dengan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat sebagaimana diatur dalam Bab V KUHAP. Secara sederhana, tindakan-tindakan tersebut dikatakan sebagai upaya paksa karena sifatnya yang memaksa dan membatasi kemerdekaan seseorang baik terhadap kebebasannya, propertinya, maupun privasinya.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai apa saja upaya paksa yang dapat dilakukan oleh aparatur negara.

Rumusan Masalah
Apa saja upaya paksa yang dapat dilakukan?
Bagaimana Definisi Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan Surat Dan Pemeriksaan Berkas?



BAB II
PEMBAHASAN

UPAYA PAKSA
KUHAP tidak mengenal istilah upaya paksa, namun istilah upaya paksa diidentikkan dengan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat sebagaimana diatur dalam Bab V KUHAP. Secara sederhana, tindakan-tindakan tersebut dikatakan sebagai upaya paksa karena sifatnya yang memaksa dan membatasi kemerdekaan seseorang baik terhadap kebebasannya, propertinya, maupun privasinya.

PENANGKAPAN
Penangkapan di dalam pasal 1 butir 20 KUHP didefinisikan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peadilan, dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik serta penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan (Pasal 16 KUHAP).
Dalam suatu peradilan pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, penggunaan tindakan yang mengekang kebebasan individu, seperi halnya penangkapan hendaknya dapat ditekan penggunaannya ke titik paling rendah. Yang mana juga berarti bahwa tidak setiap proses peradilan harus disertai dengan penangkapan.
Alasan Penangkapan
Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-bukti permulaan cukup (pasal 17 KUHAP). Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan pada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. Penyidik sekurang-kurangnya telah memiliki dan memegang suatu barang bukti, atau pada seseorang kedapatan benda/benda curian, atau telah mepunyai sekurang-kurangnya seorang saksi.
Prosedur Penangkapan
Ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut jelas bahwa dalam melakukan penangkapan Penyidik harus:
Menunjukkan surat tugas kepada tersangka bahwa ia ditugaskan untuk melakukan penangkapan.
Memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang memuat :
Identitas atau nama tersangka yang hendak ditangkap.
Menyebutkan alasan penangkapan, kenapa tersangka ditangkap.
Uraian singkat tentang perkara kejahatan yang diduga dilakukan tersangka.
Menyebutkan tempat tersangka akan diperiksa, misalnya di Polres Jakarta Pusat atau di Polda Metro Jaya atau Bareskrim Mabes Polri.
Terdapat pengecualian terhadap penunjukan surat tugas, jika pelakunya dalam keadaan tertangkap tangan. Maka, anggota Kepolisian atau Penyidik Kepolisian boleh melakukan penangkapan meski tanpa surat tugas dan tanpa surat perintah penangkapan.
Menurut Pasal 1 ayat 19 KUHAP, tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
Jadi terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap tangan anggota Kepolisian atau Penyidik Kepolisian dapat melakukan penangkapan meski tanpa surat perintah penangkapan. Dasar hukumnya adalah Pasal 18 ayat (2) yang berbunyi :
“Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Setelah dilakukan penangkapan, Penyidik harus segera memberitahu keluarga tersangka dengan memberikan tembusan surat perintah penangkapan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (3) yaitu :
“Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Namun jika dalam pelaksanaannya penyidik tidak menunjukkan surat tugas dan tidak memberikan surat perintah penangkapan ketika melakukan penangkapan, maka tersangka bisa menolak untuk dilakukan penangkapan, mintalah dulu kepada Penyidik yang hendak menangkap agar melengkapi surat tugas dan surat perintah penangkapan. Jika Penyidik tetap memaksa melakukan penangkapan, Anda bisa mengajukan gugatan praperadilan karena penangkapan tanpa surat perintah adalah bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) KUHAP. Surat tugas sedemikian pentingnya dengan tujuan menegakkan hukum, dan agar jangan terjadi penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Batas Waktu Penangkapan
Lamanya penangkapan maximum satu hari, artinya 1 kali 24 jam (pasal 19 ayat 1 KUHAP). Bagi tersangka yang melakukan pelanggaran tidak boleh dilakukan penangkapan sebelum dua kali berturut-turut dipanggil secara sah dan tersangka tidak mau hadir tanpa alasan yang sah (pasal 19 ayat 2 KUHAP).

PENAHANAN
Pengertian
Penahanan dalam KUHAP didefinisikan sebagai suatu tindakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini (Pasal 1 butir 21 KUHAP).
Dengan demikian, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik atau penyidik pembantu untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum untuk kepentingan penuntutan dan hakim di sidang pengadilan untuk kepentingan pemeriksaan (pasal 20 KUHAP). Penahanan yang dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dikategorikan sebagai tindakan perampasan kemerdekaan yang pembuatnya dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 333 dan pasal 334 KUHP.
Pasal 333 ayat (1) KUHP menentukan:
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum dan merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaaan  yang demikian, diancam dengan pidana paling lama delapan tahun.
Pasal 334 ayat (1) KUHP menentukan:
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan seseorang dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum, atau diteruskannya perampasan kemerdekaaan yang demikian, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Tujuan penahanan berdasarkan pasal 20 KUHAP, penahanan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim bertujuan:
Untuk kepentingan penyidikan;
Untuk kepetingan penuntutan;
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di siding pengadilan.
Setiap penahanan yang dilakukan, tidak lain untuk mempercepat dan mempermudah proses pemeriksaan perkara. Yang perlu dipahami disini ialah bahwa penahanan dan pidana penjara atau kurungan adalah dua hal yang berbeda baik dari sisi tujuan maupun substansinya. Penahanan bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan perkara. Sedangkan penjara merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Syarat Penahanan
Untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa harus dipenuhi beberapa syarat, sesuai dengan ketentuan pasal 21 KUHAP sebagai berikut :
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dengan alasan menurut petimbangan penyidik atau penuntut umum atau hakim telah ada dugaan keras terhadap tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan:
Identitas tersangka atau terdakwa.
Alasan penahanan.
Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan.
Tempat tersangka atau terdakwa ditahan.
Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan penahanan harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat 2 s.d 3 KUHAP).
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana dalam hal:
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 335 ayat 1, pasal 351 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staasblad Tahun 1931, Nomor 471), pasal 1, pasal 2 dan 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), pasal 36 ayat 7, pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47, dan pasal 48 Undang-undang No 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Sebagai catatan: Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Jenis Penahanan
Berdasar pasal 22 ayat (1) KUHAP, ada tiga jenis penahanan bagi tersangka atau terdakwa, yaitu:
Penahanan Rumah Tahanan Hutan (RUTAN)
Penahanan rumah tahanan hutan ini sering juga disebut sebagai penahanan yang sebenarnya. Hal itu karena tahanan yang ditahan di Rutan secara nyata dikekang kebebasannya untuk bergerak dan berakivitas serta berhubungan dengan dunia luar rutan. Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung, tetapi dipisahkan berdasar: jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan.
Penahanan rumah
Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di siding pengadilan. (pasal 22 ayat 2 KUHAP).
Penahanan kota
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa, denga kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 ayat (3) KUHAP).

Jangka Waktu Penahanan
Adapun jangka waktu penahanan oleh masing-masing pejabat yang berwenang melakukan penahanan diatur dalam pasal 24, 25, 26, 27, 28, dan 29 KUHAP. Uraian mengenai rincian lamanya penahanan adalah sebagai berikut:
Penyidik dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum untuk waktu paling lama empat puluh hari.
   Berdasarkan pasal 24, maka penahanan paling lama :
Dilakukan oleh polisi = 20 hari
Diperpanjang oleh Penuntut Umum = 40 hari 
          Jumlah = 60 hari
Penuntut umum dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri untuk waktu paling lama tiga puluh hari.
Berdasarkan pasal 25, maka penahanan paling lama :
Penuntut Umum = 20 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri = 30 hari
         Jumlah    = 50 hari
Hakim pengadilan negeri dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negri untuk waktu paling lama enam puluh hari.
Berdasarkan pasal 26, maka penahanan paling lama :
Hakim Pengadilan Negeri = 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri = 60 hari
Jumlah    = 90 hari

Hakim pengadilan tinggi dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh hari, dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi untuk waktu paling lama enam puluh hari.
Berdasarkan pasal 27, maka penahanan paling lama :
Hakim Pengadilan Tinggi = 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi = 60 hari
      Jumlah    = 90 hari

Hakim Mahkamah Agung dapat mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama lima puluh hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk waktu paling lama enam puluh hari.
Berdasarkan pasal 28, maka penahanan paling lama :
Hakim Mahkamah Agung = 50 hari
Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung = 60 hari
        Jumlah    = 110 hari
Dengan demikian penahanan paling lama dari seluruh apparat penegak hukum berdasarkan pasal 24, 25, 26, 2 dan 28 KUHAP adalah sebagai berikut:
Polisi & Perpanjangan  Penuntut Umum = 60 hari
Penuntut Umum & Perpanjangan Ketua PN = 50 hari
Hakim PN & Perpanjangan Ketua PN = 90 hari
Hakim PT & Perpanjangan Hakim PT = 90 hari
Hakim MA & Perpanjangan Ketua MA = 110 hari
        Jumlah = 400 hari

Penangguhan Penahanan
Setiap terdakwa atau tersangka yang dikenakan tindakan penahanan, dapat mengupayakan penangguhan atas penahanan tersebut dengan mengajukan permintaan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim yang melakukan penahanan. Dalam pasal 31 KUHAP disebutkan bahwa penangguhan penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, pentuntut umum atau hakim dengan atau tanpa jaminan uang atau orang, dengan syarat yang ditentukan.
Seorang yang ditangguhkan penahanannya mempunyai syarat atau kewajiban yang harus dipenuhinya sebagaimana dalam penjelasan pada pasal 31 yang berbunyi : yang dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.

PENGGELEDAHAN
Pengertian
Jika penahanan dan penangkapan sebagai upaya paksa terhdap kebebasan badan, maka pengeledahan merupakan upaya paksa terhadap kebebasan pemilikan harta benda. Ketentuan penggeledahan dalam KUHAP diatur dari pasal 32 sampai pasal 37.
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dana tau penyitaan dana tau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHP (Pasal 1 butir 17 KUHAP).
Penggeledahan badan adalah indakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita (Pasal 1 butir 18 KUHAP).
Tata Cara Penggeledahan Rumah
Berikut adalah tata cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang yaitu :
Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat, penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan (Pasal 33 ayat 1 KUHAP).
Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah (Pasal 33 ayat 2 KUHAP).
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya (Pasal 33 ayat 3 KUHAP).
Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir (Pasal 33 ayat 4 KUHAP).
Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atatu menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat 5 KUHAP).
Dikecualikan dari syarat tersebut diatas, yaitu apabila dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dan penyidik harus segera bertindak karena dikhawatirkan barang bukti akan dipindahtangankan atau dimusnahkan atau tersangka melarikan diri. Dalam keadaan demikian penyidik dapat melakukan penggeledahan:
Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam aau ada yang ada diatasnya.
Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.
Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya (Pasal 34 ayat 1 KUHAP).
Apabila yang melakukan penggeledahan rumah bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian dapat memasuki rumah dengan syarat harus menunjukkan surat izin ketu pengadilan negri dan surat perintah tertulis dari penyidik.
Pasal 34 ayat 2 memberi batasan penggeledahan bahwa penyidik tidak boleh memeriksa atau menyita surat, buku, tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan  dengan tindak pidana yang sedang disidik. Hanya benda yang behubungan dengan kasus bersangkutan atau diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
Tata Cara Penggeledahan Badan

Penggeledahan badan meliputi pakaian dan rongga badan.
Pada Pasal 37 KUHAP menentukan:
Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawa serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka terdapat benda yang dapat disita.
Pada waktu menangkap tersangka sebagaimana dimaksud dalam poin a, dibawa kepada penyidik, dan penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau penggeledahan badan tersangka.

Penggeledahan terhadap wanita dilakukan oleh pejabat wanita.
Penjelasan Pasal 37 berbunyi: penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik meminta bantuan kepada pejabat kesehatan.

PENYITAAN
Pengertian
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Oleh karena Penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia, maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, Penyitaan tersebut dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri, untuk memperoleh persetujuan.
Tujuan dari penyitaan ini sendiri yaitu untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapa diajukan ke sidang pengadilan.

Tata cara Penyitaan
Pasal 38 KUHAP menyebutkan;
Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurang ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal kepada orang darimana benda itu disita (Pasal 128 KUHAP).
Penyitaan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan serta dua orang saksi.
Penyidik membuat berita acara yang dibacakan, ditandatangani serta salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita, keluarganya, dan kepala desa. (Pasal 129 ayat 2, 3 dan 4 KUHAP)
Benda sitaan dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan cap jabatan.

Penyimpanan Benda Sitaan
Pasal 44 KUHAP mengatakan:
Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.

Pengembalian Benda Sitaan
Pasal 46 ayat (1) dan (2) KUHAP mengatakan, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tinda pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Pemeriksaan Surat
Selain surat boleh dan bisa disita seperti dalam uraian di atas, pemeriksaan surat sebagai upaya paksa juga dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan. Berikut tata cara pemeriksaan surat:
Penyitaan surat yang tertangkap tangan harus diberikan tanda penerimaan. Pasal 41 mengatakan, dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket tersebut diperuntukkan kepada tersangka.
Membuka, memeriksa, dan menyita surat dengan izin khusus ketua pengadilan negeri. Pasal 47 menentukan:
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi dan sebagainya jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus dari ketua pengadilan negeri.
Untuk kepetingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos atau pengangkutan lainnya untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pemeriksaan surat dicatat dalam berita acara. Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 dan 75. Turunan berita acara tesebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos, dan telekomunikasi atau pengangkutan lainnya yang bersangkutan.

Dalam hal suatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya, sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya, serta jika perlu menyitanya (sesuai dengan Pasal 129 KUHAP)

Pemeriksaan Berkas
Dalam menjalankan tugas penyidikan, penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang demikian ditentukan dalam pasal 8 ayat (1) KUHAP.
Pasal 75 KUHAP berbunyi:
Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang :
pemeriksaan tersangka;
penangkapan;
penahanan;
penggeledahan;
pemasukan rumah;
penyitaan benda;
pemeriksaan surat;
pemeriksaan saksi;
pemeriksaan ditempat kejadian;
pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
pelaksanaan tindakan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
 Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat 1 dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
Berita acara tersebut selain ditanda tangani oleh pejabat terssebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat (1).

      Untuk membuat berita acara tersebut penyidik mempunyai kewajiban seperti yang tercantum dalam pasal 121 KUHAP;
"Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka atau saksi, keterangan mereka ,  catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara".

Tujuan dari pemeriksaan dalam penyidikan tindak pidana yaitu menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai berkas perkara yang diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Berkas tersebut akan dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum untuk diperiksa oleh hakim dalam persidangan pengadilan.

Hasil dari pemeriksaan penyidikan tersebut lalu dibuat oleh penyidik suatu kesimpulan yang pada umumnya disebut resume. Pembuatan resume pun harus diuraikan secara singkat keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi, tersangka yang dalam uraian-urainnya diarahkan pada pemenuhan unsur-unsur pidana dari kejahatan yang dilakukan oleh tersangka sesuai dengan pasal yang disangkakan.

Susunan berkas perkara yang lengkap terdiri dari:
Resume (berisi pendapat penyidik);
laporan atau pengaduan;
pemberitahuan mulainya penyidikan;
 berita acara penangkapan;
 berita acara penahanan;
 berita acara penggeledahan;
 berita acara pemasukan rumah;
 berita acara penyitaan benda;
 berita acara pemeriksaan surat;
 berita acara pemeriksaan saksi;
 berita acara pemeriksaan tersangka;
 daftar adanya barang bukti;
 daftar yang memuat nama-nama saksi.

Sedangkan surat-surat kelengkapan lainnya antara lain:
surat perintah penangkapan.
surat perintah penahanan dan perpanjangan.
surat perintah penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya.
Penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada penuntut umum diatur dalam pasal 8 ayat (2) KUHAP, sedangkan dalam ayat (3) menetukan bahwa penyerahan pada tahap-tahap berikut:
pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.


Dalam pasal 55 ayat(1) dan pasal 83e mengharuskan penyerahan berkas perkara beserta barang bukti kepada jaksa.

Adapun pertimbangan yang diambil dalam hal ini antara lain:
karena penyidikan hanya dipertanggung-jawabkan kepada penyidik, maka penuntut umum berpendapat hasil penyidikan itu belum lengkap, segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuknya dan dilengkapi oleh penyidik. Sedangkan tersangka dan barangn bukti tetap ditempat semula dimana ditahan.
penyerahan tahap kedua hanya penyerahan tanggung-jawab tersangka dan barang bukti.
mencegah keluarga yang akan mengunjungi tersangka.
pertanggung-jawaban lebih jelas dan dengan demikian akan ada kepastian hukum.


BAB III
SIMPULAN

Istilah upaya paksa diidentikkan dengan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat sebagaimana diatur dalam Bab V KUHAP.
Penangkapan didefinisikan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peadilan.
Prosedur penangkapan ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP.
Penahanan adalah suatu tindakan penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 21 KUHAP).
Pengeledahan merupakan upaya paksa terhadap kebebasan pemilikan harta benda.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan


Daftar Pustaka
Pangaribuan, Aristo dkk. 2017. Pengantar Hukm Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
M.T. Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
Priyatno, Anang. Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Rengong, Ruslan. 2014. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Prenamedian Grup.
Nikolas Simanjuntak. 2012. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia.

Posting Komentar

0 Komentar

close
REKOMENDASI BARANG MURAH