Rukun Tetangga (RT) Sebagai Institusi Kemasyarakanat Desa
Sebelumnya, perlu dipahami terutama dahulu mengenai Institusi Kemasyarakatan Desa (“LKD”) yang menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 perihal Institusi Kemasyarakatan Desa dan Institusi Desa (“Permendagri 18/2018”) didefinisikan sebagai berikut:
Institusi Kemasyarakatan Desa yang berikutnya disingkat LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, turut serta dalam perencanaan, cara kerja dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa (“PP 43/2014”) sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 perihal Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa (“PP 47/2015”), dan Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018, diceritakan bahwa LKD dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat.
Variasi LKD paling sedikit mencakup:[1]
Rukun Tetangga (“RT”);
Rukun Warga (“RW”);
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga;
Karang Taruna;
Pos Pelayanan Terpadu; dan
Institusi Pemberdayaan Masyarakat.
RT dan RW bertugas:[2]
menolong Kepala Desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;
menolong Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; dan
menjalankan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
Pengurus LKD terdiri atas:[3]
ketua;
sekretaris;
bendahara; dan
bidang cocok kebutuhan.
Pengurus LKD mengatur jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diatur. Pengurus LKD dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pengurus LKD dilarang merangkap jabatan pada LKD lainnya dan dilarang menjadi member salah satu partai politik.[4]
Sebagai figur di DKI Jakarta, pengaturan mengenai RT dapat dipandang dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 perihal Petunjuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga (“Pergub DKI Jakarta 171/2016”).
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Pergub DKI Jakarta 171/2016, RT didefinisikan sebagai berikut:
RT adalah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk melalui Musyawarah RT setempat dalam rangka cara kerja pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur oleh Lurah.
RT/RW di DKI Jakarta, dalam menjalankan tugas, mempunyai fungsi:[5]
pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya;
pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga;
pembuatan gagasan dalam cara kerja pembangunan dengan memaksimalkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan
penggagas swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di zonanya.
Kecuali tugas hal yang demikian, RT/RW di DKI Jakarta mempunyai keharusan:[6]
mengatur teguh dan mengamalkan Pancasila, menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
memberikan pelayanan sebaik-pantasnya terhadap masyarakat cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan;
menjalin kekerabatan kemitraan dengan beragam pihak yang berhubungan;
mentaati ketetapan aturan perundang-undangan;
menjaga moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat; dan
melaporkan perkembangan kejadian dan dilema di wilayah melalui program aplikasi yang terdapat dalam Jakarta Smart City.
Ketua RT dan/atau Ketua RW mempunyai tugas:[7]
memimpin dan mengatur cara kerja tugas serta fungsi yang menjadi tanggung jawab dan wewenang RT dan/atau RW;
mengatur pengelolaan keuangan dan kekayaan RT dan/atau RW;
mewakili lembaga dalam menjalankan kekerabatan kerja ke luar lembaga;
menandatangani surat-surat yang menjadi kewenangannya;
menolong dan memperlancar Lurah dalam cara kerja kegiatan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan dan kemasyarakatan; dan
membina dan mengawasi kegiatan-kegiatan warga atau member dalam RT
Pengurus RT dan/atau Pengurus RW mempunyai keharusan:[8]
menjalankan tugas cocok kedudukannya dalam kepengurusan;
memberikan pelayanan pemerintahan terhadap penduduk cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan; dan
memberikan pelayanan kemasyarakatan terhadap penduduk tanpa diskriminasi.
Perbuatan Diskriminasi oleh Ketua RT
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Peraturan Asasi Manusia (“UU HAM”), diskriminasi adalah tiap-tiap pengaturan, pelecehan, atau pengucilan yang lantas maupun tidak lantas didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, golongan, golongan, status sosial, status ekonomi, macam kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berdampak pengurangan, penyimpangan atau peniadaan pengakuan, cara kerja atau penerapan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, aturan, sosial, tradisi dan aspek kehidupan lainnya.
Tiap-tiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.[9]
Kami kurang menerima isu yang jelas dari Anda mengenai bentuk diskriminasi seperti apa yang dilaksanakan oleh Ketua RT. Untuk itu kami asumsikan bahwa diskriminasi yang Anda maksud adalah diskriminasi dengan menjalankan pembedaan/menunjukkan kebencian menurut ras dan etnis.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 perihal Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (“UU 40/2008”) mendefinisikan diskriminasi ras dan etnis sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi.
Pada dasarnya, tiap-tiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk menerima hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.[10]
Kecuali itu, tiap-tiap warga negara sepatutnya:[11]
menolong mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan
memberikan isu yang benar dan bertanggung jawab terhadap pihak yang berwajib jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis.
Perbuatan diskriminatif ras dan etnis berupa:[12]
memperlakukan pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi; atau
menunjukkan kebencian atau rasa benci terhadap orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa tindakan:
membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, dilekatkan, atau disebarluaskan di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat dipandang atau dibaca oleh orang lain;
berpidato, menyuarakan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
menjalankan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, tindakan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan menurut diskriminasi ras dan etnis.
Lalu apakah ada pidana bagi orang yang menjalankan tindakan diskriminasi etis dan ras? Pasal 15 dan 16 UU 40/2008 mengatur ancaman pidana bagi orang yang menjalankan diskriminasi ras dan etnis, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15 UU 40/2008
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja menjalankan pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 16 UU 40/2008
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci terhadap orang lain menurut diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jadi, jika ketua RT menjalankan diskriminasi menurut ras dan etnis dapat dipidana dengan Pasal-Pasal yang sudah kami jelaskan di atas, pidananya tergantung macam/bentuk tindakan diskriminasi seperti apa yang dilakukannya.
Kecuali itu, tiap-tiap orang yang menerima tindak diskriminasi ras dan etnis sehingga merugikan dirinya, berhak mengajukan gugatan ganti kerugian pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi.[13]
Lalu, jika ketua RT hal yang demikian dapat dipidana menurut UU 40/2008 karena menjalankan tindakan diskriminasi ras dan etnis, bagaimana metode masyarakat melaporkan tindakan hal yang demikian pada pihak yang berwajib adalah kepolisian?
Sistem Melaporkan Tindak Pidana Pada Kepolisian
Jika Anda ingin melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Anda dapat lantas datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi momen pidana hal yang demikian terjadi. Adapun tempat aturan kepolisian mencakup:[14]
Tempat aturan kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Tempat aturan kepolisian Tempat (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
Tempat aturan kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
Tempat aturan kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
Untuk wilayah administrasi kepolisian, tempat peraturannya dibagi menurut pemerintahan tempat dan perangkat metode peradilan pidana terpadu.[15] Sebagai figur jika Anda memandang ada tindak pidana di suatu kecamatan, maka Anda dapat melaporkan hal hal yang demikian ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tapi, Anda juga dibetuli/diperbolehkan untuk melaporkan hal hal yang demikian ke wilayah administrasi yang berada di atasnya misal melapor ke POLRES, POLDA atau MABES POLRI.
Pada saat Anda berada di Kantor Polisi, silakan lantas menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) yang adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. SPKT mempunyai tugas memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat. Peraturan ini sebagaimana ketetapan Pasal 106 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 perihal Susunan Organisasi dan Tiap-tiap Sesudah Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor (“Perkapolri 23/2010”), yang berbunyi:
SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan isu.
Laporan oleh pelapor dilaksanakan secara lisan maupun tertulis, setelah itu berhak menerima surat pedoman penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik.
Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) Kitab Undang-Undang Review Acara Pidana (“KUHAP”):
Tiap-tiap orang yang mengalami, memandang, menyaksikan dan atau menjadi korban momen yang adalah tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan terhadap penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan;
Tetapi menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik sepatutnya memberikan surat pedoman penerimaan laporan atau pengaduan terhadap yang bersangkutan.
Jika selengkapnya dapat Anda simak dalam tulisan Prosedur Melaporkan Peraturan Pidana ke Kantor Polisi.
Menjawab pertanyaan Anda, ketua RT yang menjalankan diskriminasi ras dan etnis dapat dipidana menurut UU 40/2008. Masyarakat dapat melaporkan ketua RT hal yang demikian pada kepolisian cocok dengan wilayah adminstrasi kepolisian dalam hal ini (POLDA). Tiap-tiap metode pelaporannya sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas.
Peraturan demikian, kami memberi rekomendasi agar warga memprioritaskan upaya tentram di antara warga dengan Ketua RT. Tempat segala upaya tentram sudah ditempuh tapi tidak berhasil, warga dapat melaporkan tindakan Ketua RT hal yang demikian terhadap ketua RW sebagai penyelenggara pemerintahan di atas RT sebelum membawanya ke ranah pidana.
Peraturan jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar aturan:
Kitab Undang-Undang Review Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Peraturan Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 perihal Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis;
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 perihal Tempat Review Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 perihal Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 perihal Institusi Kemasyarakatan Desa dan Institusi Desa;
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 perihal Petunjuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga;
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 perihal Susunan Organisasi dan Tiap-tiap Sesudah Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor.
[1] Pasal 6 ayat (1) Permendagri 18/2018
[2] Pasal 7 ayat (1) Permendagri 18/2018
[3] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 18/2018
[4] Pasal 8 ayat (3), (4), dan (5) Permendagri 18/2018
[5] Pasal 19 Pergub DKI Jakarta 171/2016
[6] Pasal 20 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[7] Pasal 22 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[8] Pasal 24 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[9] Pasal 3 ayat (3) UU HAM
[10] Pasal 9 UU 40/2008
[11] Pasal 10 UU 40/2008
[12] Pasal 4 UU 40/2008
[13] Pasal 13 UU 40/2008
[14] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 perihal Tempat Review Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 23/2007”)
[15] Pasal 2 ayat (2) PP 23/2007
Sumber @hukumonline.com
Sebelumnya, perlu dipahami terutama dahulu mengenai Institusi Kemasyarakatan Desa (“LKD”) yang menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 perihal Institusi Kemasyarakatan Desa dan Institusi Desa (“Permendagri 18/2018”) didefinisikan sebagai berikut:
Institusi Kemasyarakatan Desa yang berikutnya disingkat LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, turut serta dalam perencanaan, cara kerja dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa (“PP 43/2014”) sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 perihal Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa (“PP 47/2015”), dan Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018, diceritakan bahwa LKD dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat.
Variasi LKD paling sedikit mencakup:[1]
Rukun Tetangga (“RT”);
Rukun Warga (“RW”);
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga;
Karang Taruna;
Pos Pelayanan Terpadu; dan
Institusi Pemberdayaan Masyarakat.
RT dan RW bertugas:[2]
menolong Kepala Desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;
menolong Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; dan
menjalankan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
Pengurus LKD terdiri atas:[3]
ketua;
sekretaris;
bendahara; dan
bidang cocok kebutuhan.
Pengurus LKD mengatur jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal diatur. Pengurus LKD dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pengurus LKD dilarang merangkap jabatan pada LKD lainnya dan dilarang menjadi member salah satu partai politik.[4]
Sebagai figur di DKI Jakarta, pengaturan mengenai RT dapat dipandang dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 perihal Petunjuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga (“Pergub DKI Jakarta 171/2016”).
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Pergub DKI Jakarta 171/2016, RT didefinisikan sebagai berikut:
RT adalah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk melalui Musyawarah RT setempat dalam rangka cara kerja pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diatur oleh Lurah.
RT/RW di DKI Jakarta, dalam menjalankan tugas, mempunyai fungsi:[5]
pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya;
pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga;
pembuatan gagasan dalam cara kerja pembangunan dengan memaksimalkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat; dan
penggagas swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di zonanya.
Kecuali tugas hal yang demikian, RT/RW di DKI Jakarta mempunyai keharusan:[6]
mengatur teguh dan mengamalkan Pancasila, menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
memberikan pelayanan sebaik-pantasnya terhadap masyarakat cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan;
menjalin kekerabatan kemitraan dengan beragam pihak yang berhubungan;
mentaati ketetapan aturan perundang-undangan;
menjaga moral dan etika dalam kehidupan bermasyarakat; dan
melaporkan perkembangan kejadian dan dilema di wilayah melalui program aplikasi yang terdapat dalam Jakarta Smart City.
Ketua RT dan/atau Ketua RW mempunyai tugas:[7]
memimpin dan mengatur cara kerja tugas serta fungsi yang menjadi tanggung jawab dan wewenang RT dan/atau RW;
mengatur pengelolaan keuangan dan kekayaan RT dan/atau RW;
mewakili lembaga dalam menjalankan kekerabatan kerja ke luar lembaga;
menandatangani surat-surat yang menjadi kewenangannya;
menolong dan memperlancar Lurah dalam cara kerja kegiatan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan dan kemasyarakatan; dan
membina dan mengawasi kegiatan-kegiatan warga atau member dalam RT
Pengurus RT dan/atau Pengurus RW mempunyai keharusan:[8]
menjalankan tugas cocok kedudukannya dalam kepengurusan;
memberikan pelayanan pemerintahan terhadap penduduk cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan; dan
memberikan pelayanan kemasyarakatan terhadap penduduk tanpa diskriminasi.
Perbuatan Diskriminasi oleh Ketua RT
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Peraturan Asasi Manusia (“UU HAM”), diskriminasi adalah tiap-tiap pengaturan, pelecehan, atau pengucilan yang lantas maupun tidak lantas didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, golongan, golongan, status sosial, status ekonomi, macam kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berdampak pengurangan, penyimpangan atau peniadaan pengakuan, cara kerja atau penerapan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, aturan, sosial, tradisi dan aspek kehidupan lainnya.
Tiap-tiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.[9]
Kami kurang menerima isu yang jelas dari Anda mengenai bentuk diskriminasi seperti apa yang dilaksanakan oleh Ketua RT. Untuk itu kami asumsikan bahwa diskriminasi yang Anda maksud adalah diskriminasi dengan menjalankan pembedaan/menunjukkan kebencian menurut ras dan etnis.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 perihal Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (“UU 40/2008”) mendefinisikan diskriminasi ras dan etnis sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi.
Pada dasarnya, tiap-tiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk menerima hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi cocok dengan ketetapan aturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.[10]
Kecuali itu, tiap-tiap warga negara sepatutnya:[11]
menolong mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan
memberikan isu yang benar dan bertanggung jawab terhadap pihak yang berwajib jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis.
Perbuatan diskriminatif ras dan etnis berupa:[12]
memperlakukan pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi; atau
menunjukkan kebencian atau rasa benci terhadap orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa tindakan:
membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, dilekatkan, atau disebarluaskan di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat dipandang atau dibaca oleh orang lain;
berpidato, menyuarakan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat awam atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
menjalankan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, tindakan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan menurut diskriminasi ras dan etnis.
Lalu apakah ada pidana bagi orang yang menjalankan tindakan diskriminasi etis dan ras? Pasal 15 dan 16 UU 40/2008 mengatur ancaman pidana bagi orang yang menjalankan diskriminasi ras dan etnis, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15 UU 40/2008
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja menjalankan pembedaan, pengecualian, pengaturan, atau pemilihan menurut pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau cara kerja hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan tradisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 16 UU 40/2008
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci terhadap orang lain menurut diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jadi, jika ketua RT menjalankan diskriminasi menurut ras dan etnis dapat dipidana dengan Pasal-Pasal yang sudah kami jelaskan di atas, pidananya tergantung macam/bentuk tindakan diskriminasi seperti apa yang dilakukannya.
Kecuali itu, tiap-tiap orang yang menerima tindak diskriminasi ras dan etnis sehingga merugikan dirinya, berhak mengajukan gugatan ganti kerugian pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi.[13]
Lalu, jika ketua RT hal yang demikian dapat dipidana menurut UU 40/2008 karena menjalankan tindakan diskriminasi ras dan etnis, bagaimana metode masyarakat melaporkan tindakan hal yang demikian pada pihak yang berwajib adalah kepolisian?
Sistem Melaporkan Tindak Pidana Pada Kepolisian
Jika Anda ingin melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Anda dapat lantas datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi momen pidana hal yang demikian terjadi. Adapun tempat aturan kepolisian mencakup:[14]
Tempat aturan kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Tempat aturan kepolisian Tempat (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
Tempat aturan kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
Tempat aturan kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
Untuk wilayah administrasi kepolisian, tempat peraturannya dibagi menurut pemerintahan tempat dan perangkat metode peradilan pidana terpadu.[15] Sebagai figur jika Anda memandang ada tindak pidana di suatu kecamatan, maka Anda dapat melaporkan hal hal yang demikian ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tapi, Anda juga dibetuli/diperbolehkan untuk melaporkan hal hal yang demikian ke wilayah administrasi yang berada di atasnya misal melapor ke POLRES, POLDA atau MABES POLRI.
Pada saat Anda berada di Kantor Polisi, silakan lantas menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) yang adalah unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. SPKT mempunyai tugas memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat. Peraturan ini sebagaimana ketetapan Pasal 106 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 perihal Susunan Organisasi dan Tiap-tiap Sesudah Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor (“Perkapolri 23/2010”), yang berbunyi:
SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan isu.
Laporan oleh pelapor dilaksanakan secara lisan maupun tertulis, setelah itu berhak menerima surat pedoman penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik.
Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) Kitab Undang-Undang Review Acara Pidana (“KUHAP”):
Tiap-tiap orang yang mengalami, memandang, menyaksikan dan atau menjadi korban momen yang adalah tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan terhadap penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan;
Tetapi menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik sepatutnya memberikan surat pedoman penerimaan laporan atau pengaduan terhadap yang bersangkutan.
Jika selengkapnya dapat Anda simak dalam tulisan Prosedur Melaporkan Peraturan Pidana ke Kantor Polisi.
Menjawab pertanyaan Anda, ketua RT yang menjalankan diskriminasi ras dan etnis dapat dipidana menurut UU 40/2008. Masyarakat dapat melaporkan ketua RT hal yang demikian pada kepolisian cocok dengan wilayah adminstrasi kepolisian dalam hal ini (POLDA). Tiap-tiap metode pelaporannya sebagaimana yang sudah kami jelaskan di atas.
Peraturan demikian, kami memberi rekomendasi agar warga memprioritaskan upaya tentram di antara warga dengan Ketua RT. Tempat segala upaya tentram sudah ditempuh tapi tidak berhasil, warga dapat melaporkan tindakan Ketua RT hal yang demikian terhadap ketua RW sebagai penyelenggara pemerintahan di atas RT sebelum membawanya ke ranah pidana.
Peraturan jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar aturan:
Kitab Undang-Undang Review Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal Peraturan Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 perihal Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis;
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 perihal Tempat Review Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa sebagaimana sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 perihal Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 perihal Peraturan Cara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 perihal Desa;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 perihal Institusi Kemasyarakatan Desa dan Institusi Desa;
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 perihal Petunjuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga;
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 perihal Susunan Organisasi dan Tiap-tiap Sesudah Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor.
[1] Pasal 6 ayat (1) Permendagri 18/2018
[2] Pasal 7 ayat (1) Permendagri 18/2018
[3] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 18/2018
[4] Pasal 8 ayat (3), (4), dan (5) Permendagri 18/2018
[5] Pasal 19 Pergub DKI Jakarta 171/2016
[6] Pasal 20 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[7] Pasal 22 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[8] Pasal 24 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 171/2016
[9] Pasal 3 ayat (3) UU HAM
[10] Pasal 9 UU 40/2008
[11] Pasal 10 UU 40/2008
[12] Pasal 4 UU 40/2008
[13] Pasal 13 UU 40/2008
[14] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 perihal Tempat Review Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 23/2007”)
[15] Pasal 2 ayat (2) PP 23/2007
Sumber @hukumonline.com
0 Komentar