Kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional

Recent Posts

Kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional

Kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional

Pengertian Kualifikasi

Kualifikasi adalah tindakan yang praktis selalu diterapkan. Hal ini kiranya merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan, karena untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapi, mendefinisikannya dan menempatkannya ke dalam suatu kategori hukum tertentu. Di dalam hukum internasional, kualifikasi merupakan sebuah proses berfikir yang logis guna menempatkan konsepsi asas-asas dan kaidah-kaidah hukum ke dalam sistem hukum yang berlaku. Di dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi lebih penting lagi, karena di sini kita diharuskan memilih salah satu sistem hukum tertentu.

Macam Macam Kualifikasi dalam Hukum Perdata Internasional

Seperti halnya hukum perdata internasional lainnya, di dalam Hukum Perdata Internasional juga diperlukan kualifikasi. Fakta-fakta harus berada di bawah kategori hukum tertentu (subsumption of facts under categories of laws). Fakta-fakta diklasifikasikan, dimasukkan dan dikategorikan ke dalam kelas-kelas pengerian hukum yang ada, dengan kata lain fakta-fakta dikarakteristikkan. Di dalam Hukum Perdata Internasional, kaidah hukum pun perlu dikualifikasikan (classification of law).
Dari uraian di atas, maka di dalam HPI dikenal dua macam kualifikasi, yaitu:
  1. Kualifikasi fakta (classification of facts). Kulifikasi fakta adalah kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum dan kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku.
  2. Kualifikasi hukum ( classification of law). Kualifikasi hukum adalah penggolongan pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam pengelolaan atau pembidangan kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dengan demikian, proses kualifikasi di dalam HPI mencakup langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam suatu perkara ke dalam kategori yang ada;
  2. Kualifikasi sekumpulan fakta itu ke dalam kaidah-kaidah atau ketentuan tertentu yang seharusnya berlaku (lex causae).

Teori Kualifikasi

Menurut Sudargo Gautama secara garis besar terdapat tiga macam teori kualifiakasi, yaitu:   

Kualifikasi menurut Lex Fori

Menurut teori yang ditokohi franz Khan (Jerman) dan Bartin (Perancis) ini, kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil pihak hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (lex fori), pengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut sistem hukum negara sang hakim sendiri. Para penganut Hukum Perdata Internasionalteori Lex Fori umumnya sependapat, bahwa terhadap beberapa kualifikasi yang disebut bahwa ini dikecualikan dari kualifikasi yang disebut di bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu:
  1. Kewarganegaraan;
  2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak;
  3. Suatu kontrak yang ada pilhan hukumnya
  4. Konvensi-konvensi internasional (bila negara yang bersangkutan turut serta dalam hal tersebut);
  5. Perbuatan melawan hukum;
  6. Pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah-mahkamah internasional.
Sisi positif teori ini adalah kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Akan tetapi juga memiliki kelemahan, di mana dapat menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan ukuran yang tidak sama sekali dikenaloleh sistem hukum asing tersebut.
Contoh Kasus:
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
– Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
– Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap belum dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
– Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
– Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur oleh hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan menurut hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
– Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap syah, tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
– Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex fori, sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.
II. Perkara Apt Vs Apt (1947)
– Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah menikah dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan mempunyai domisili di Argentina);
– Pengadilan Inggris harus menentukan apakah “cara perkawinan” ini merupakan syarat formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini merupakan syarat formil, maka perkawinan yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah sah. Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
– Pengadilan Inggris mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka perkawinan ini dianggap sah.
Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari “titik-titik taut” yang menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris “titik-titik taut” ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah menurut hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya)

Kualifikasi menurut Lex Cause

Teori semula dikemukakan Despagnet kemudian diperjuangkan lebih lanjut oleh Martin Wolff dan G.C. Cheshire.
Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukumu yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah-kaidah HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, abrulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum diantara kaidah lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara.
Contoh Kasus :
  1. Perkara Anton Vs Bartolo (1891)
    – Ny. Anton dan suaminya pada permulaan perkawinan berdomisili di Malta, kemudian pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan membeli sebidang tanah;
    – Sesudah suaminya meninggal, Ny. Anton menggugat ¼ bagian hasil tanah tersebut sebagai harta warisan;
    – Jika hukum Malta yang berlaku, maka gugatan akan dikabulkan, tetapi jika hukum Perancis yang berlaku akan ditolak. Yang jadi persolan adalah apakah perkara ini perkara “warisan” ataukah masalah “harta perkawinan”;
    – Baik hukum Perancis maupun Malta berlaku kaedah-kaedah HPI, dimana mengenai warisan benda tak bergerak tunduk pada lex situs (letak benda), dan mengenai harta perkawinan berlaku lex domicilii.
    – persoalannya apakah perkara ini akan dikualifikasi sebagai perkara warisan atau perkara perkawinan. Gugatan hak waris tidak dikenal hukum Perancis, jika dianggap soal waris, maka yang berlaku hukum Perancis. Sedangkan jika dianggap sebagai masalah perkawinan berlaku hukum Malta
    – Pengadilan Aljazair menggolongkannya menurut hukum Malta, yang menggolongkan hak janda ¼ bagian hasil tanah sebagai kaedah harta perkawinan, sehingga gugatan Ny. Anton dikabulkan      

Kualifikasi Otonom

Kualifiaksi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada. Teori ini memang ideal sekali, tetapi di dalam praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena :
  1. Menemukan dan menetapkan pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak mungkin. Dalam penerapannya, susah untuk bersifat general.
  2. Hakim yang akan menggunakan kualifiaksi yang demikian ini haruslah mengenal semua sistem hukum di dunia, agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
Dalam hal ini dapat dikualifikasikan dalam teori bertahap atau primer dan sekunder.
Contoh Kasus :
– Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris, tanpa dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
– Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku (tempat tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang merupakan benda bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables) menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
– Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
– Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss terhadap benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut)

Posting Komentar

0 Komentar

close
REKOMENDASI BARANG MURAH