Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid

Recent Posts

Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid


A.    Pengertian Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid
Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam sehari-hari tidak jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat.[1] Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang.
B.     Kaidah Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.
اين ما وجدت المسلحة فثم شرع الله
”Kapan saja ditemukan kemashlahatan, maka itu syari’at Allah”
Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya qawaid al-Ahkam fi Musholih al-Anam mengatakan bahwa seluruh Syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahah. Kerja manusia itu ada yang mebawa kepada mashlahat ada pula yang menyebabkan mafsadah. Baik maslahat maupun mafsadah ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk kepentingan ukhrowiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan duniawiyah sekaligus ukhrowiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syariat dan seluruh yang mafsadat dilarah oleh syariat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan kemudharatannya.[2]
Kemaslahatan dapat dibagi menjadi tiga bagian :
1.         Kemaslahatan dari wajibat, setiap hal yang wajib pasti membawa kemaslahatan. Contohnya sholat fardu.
2.         Kemaslahatan dari mandubat (tindakan yang sunah). Contohnya Sholat Sunah
Semua hal yang wajibat maupun yang mandubat adalah sesuatu yang membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan kepada orang yang bertakwa, diantaranya:
مَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. Ath-Thalaq: 2)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
”Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS. Ath-Thalaq: 5)
3.         Kemaslahatan dari mubahat (tindakan yang jawaz), yang dimaksud mubah disini adalah bukan sesuatu yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tidak akan mendapat pahala ataupun berdosa. Tapi,  sesuatu yang jika sudah diperbuat maka akan menimbulkan dua kemungkinan yaitu akan jadi baik atau bahkan buruk. Jika hal mubah yang kita perbuat sesuai dengan syariat Islam maka insyaallah akan mendapat pahala dan sebaliknya. Contohnya,  Makan dan minum.
Kemafsadatan juga dibagi menjadi dua bagian:
1.         Kemafsadatan dari makruhat (tindakan yang makruh), contohnya, memakan hal-hal yang menyebabkan bau tidak nyaman, berkumur ketika berpuasa.
2.         Kemafsadatan dari muharromat (tindakan yang haram)[3], contohnya adalah berzina
C.     Penerapan Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.
Sebagian besar kemashlahatan dunia dan mafsadatnya telah diketahuai akal pengetahuan. Melaksanakan kesamashlahatan murni dan menolak kemafsadatan murni merupkan perbuatan yang sanagat terpuji bagi manusia. Demikian pula, dalam mendahulukan kemashlahatan yang lebih unggul dan menolak kemafsadatan yang lebih unggul atau menolak kemafsadatn yang lebih unggul terlebih dahulu, kemudian mengerjakan kemashlahatan tingkat biasa atau mengerjakan kemashlahatan yang lebih unggul, kemudian menolak kemafsadatan tingkat  biasa, perihal tersebut sudah ada consensus atas kebaikannya oleh ahli hukum.
     Dalam syariat terdapat perbedaan manayang harus didahulukan antara menolak kemafsadatan atau mengerjakan kemadharatan, hal ini pada prinsipnya hanya berorientasi pada sulitnya mengetahui tingkat keunggulan masing-masing. Banyak manusia yang mengalami kebingungan, akhirnya mereka tidak mengerjakan kemashlahatn dan tidak memberantas kemafsadatan.[4]
Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu:
1.      Jalbul Masholih, Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama, dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling maslahat
فَبَشِّرْ عِبَادِالَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَه....
“….beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengarkan ucapan-ucapan orang dan mengambil jalan paling baik diantanya….”(QS. Az-Zumar: 17-18)
وَأْمُرقَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا....
“….perintahkanlah kepada umatmu untuk mengambil yang paling baik….”(QS. Al-A’raaf: 145)
Dari kedua ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik diantara keduanya.
Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat, wiridan setelah sholat juga maslahat, lalu ketika kita sehabis sholat dan ada seorang tamu yang datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah wiridan karena menghormati tamu adalah sesuatu yang membawa maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang tamu sendiri. Sedangkan mashlahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita sendiri.
2.      Mashlahah “dar’ul mafasid” (mashlahah dharuraat) Apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan mafsadat berarti mengejar maslahat.
 وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". (QS. Al-Baqarah: 11)
Contohnya. Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kontraksi yang sangat parah, sampai akhirnya dokter memberikan pilihan kepada keluarga tersebut untuk memilih salah satu jiwa yang harus dikorbankan. Dalam kasus ini maka yang harus dikorbankan adalah sang anak. Karena ketika menyelamatkan seorang ibu kemungkinan sang ibu bisa hamil kembali. Tapi ketika yang diselamatkan sang anak, anak tersebut hanya akan dibesarkan oleh sang ayah seorang.
Contoh lain juga terdapat pada surat an-Nisa 148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
”Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terang-terangan kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa: 148)
          Perkataan yang buruk adalah suatu hal yang tidak baik, sedangkan dzalim ke pada orang lain juga termasuk perbuatan tercela. Alah Swt. tidak menyukai perkataan, dengan demikian perkataan yang buruk adalah hal yang mafsadat karena segala sesuatu yang makruh adalah mafsadat, tapi jika ada orang yang dzalim kepada kita maka kita diperbolehkan mengucapkan perkataan yang buruk itu karena untuk menangkal kerusakan yang lebih besar bisa dilakukan dengan kerusakan yang lebih kecil.
3.      Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih.
Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat.
Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu ketika berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah, namun ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan akan membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur tersebut.[5]
Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih adalah yang maslahatnya. Sebagai contoh:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al-Baqarah: 219)
          Ayat di atas menjelaskan bahwa khamar memiliki mashlahat dan juga mafsadat. Tapi menurut ayat di atas, mafsadat dari khamar lebih banyak dari pada mashlahat nya. Maka dari itu tinggalkanlah khamar.


[1] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.27
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.2
[3] Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia, terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), hlm. 7
[4] Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia, terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), hlm. 3-4
[5] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyyah Putra),

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Masya allah, fiqhi yg begitu indah untuk dipahami dan diamalkan.

    BalasHapus