BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi suatu kasus, hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang harus
diselesaikan atau dicari pemecahnnya dan untuk itulah perlu dicarikan hukumnya.
Apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum
mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk
menyelesaikan perkara tersebut.
Dalam
hal demikian maka hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan
hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan
hakim yang demikian inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Di dalam Makalah ini akan dijelaskan
tentang apa saja yang terkait dengan penemuan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan dari hakim sebagai penegak hukum ?
2. Apa yang dimaksud dengan penafsiran hukum ?
3. Apa saja metode-metode penafsiran hukum ?
4. Apa yang dimaksud dengan metode argumentasi hukum ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui penjelasan dari hakim sebagai penegak hukum.
2. Mengetahui yang dimaksud dengan penafsiran hukum.
3. Mengetahui tentang metode-metode penafsiran hukum.
4. Mengetahui yang dimaksud dengan metode argumentasi hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakim Sebagai Penegak Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku,
berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari
segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur
penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum
berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak
hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai
institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Pemeran utama yang
peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah hakim.
Definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana atau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili
diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.[1]
Hakim memiliki
kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu,
terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi
hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. . Nilai-nilai itu
adalah sebagai berikut :
1.
Profesi
hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di
sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2.
Selanjutnya,
nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan
peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut
dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh
membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah.
Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa
3.
Hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya
kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur
suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4.
Hakim wajib
menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak
dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari
tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan
musyawarah secara tertutup.
5.
Hakim harus
senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal
berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban
secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada
lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan
dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
6.
Hakim wajib menjunjung
tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang
menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara
apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat
hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Berkaitan dengan tanggung jawab Hakim seperti dipaparkan di atas, Hakim
memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karenanya
sebagai penegak hukum, Hakim merupakan pejabat kunci keberhasilan penegakan
hukum, maksudnya penentu bagi penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum dengan
tidak membedakan status pelaku. Inilah sebagai kunci hukum benar-benar
ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Oleh karenanya dalam menjatuhkan putusan
atas suatu perkara, Hakim harus benar-benar menemukan suatu kebenaran akan
peristiwanya sehingga dapat menentukan sanksi yang dijatuhkan bersamaan putusan
yang dijatuhkan pula. Dengan dijatuhkannya putusan berarti suatu bentuk
keadilan harus terwujud diantara berbagai pihak terutama yang terlibat suatu
perkara yang bersangkutan, dikarenakan setiap putusan Hakim pasti berkepala
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
B. Penafsiran Hukum
Menurut Soedjono Dirdjosisworo
penafsiran adalah menentkan arti atau makna suatu teks atau hanya pasal
berdasar pada kaitannya.[2]
Menurut R. Soeroso bahwa penafsiran
adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil dalil yang tercantuk dalam
UU sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat UU tersebut.
Jadi kesimpulannya Penafsiran hukum
adalah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan
baik dalam arti memperluas atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam
rangka penggunaannya untuk memecahkan
masalah yang sedang dihadapi.
C.
Metode
Penafsiran Hukum
1. Penafsiran
Gramatikal (Tata Bahasa)
Yaitu cara penafsiran berdasarkan
pada bunyi ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada arti perkataan dalam
hubungannya dengan kalimat yang dipakai oleh UU yang mana arti perkataan
tersebut adalah perkataan yang dipakai sehari-hari.
2. Penafsiran Sistematis atau Logis
Menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan system perundang-undangan dengan jalan menghubungkan
dengan undang-undang lain. Dalam hal ini hukum dilihat sebagai satu kesatuan
system peraturan. Suatu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri
sendiri, tetapi sebagai bagian dari system.
3. Penafsiran
Histiris
Penafsiran ini dilakukan dengan
cara meneliti sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Jadi merupakan
penjelasan menurut sejarah hukumnya dan sejarah terjadinya undang-undang.
Penafsiran ini disebut juga [enafsiran subjektif karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan
subjektif dari pmbentuk undang-undang. Engn emakin tua usia undang-undang, maka
semakin berkuranglah kegunaan penafsiran historis.
4. Penafsiran
Teleologis atau Sosiologis
Penafsiran teleleologid digunakan
apabila makna undang-undang itu ditetapkan bedasarkan tujuan dan pembentuk undang-undang yang disesuaikan dengan tujuan
kemasyarakatan. Dengan penafsiran Teloleologis ini UU yang masih berlaku tetapi sudah using atau
tidak sesuai lagi diterapkan pada peristiwa, hunumgan, kebutuhan, dan
kepentingan masa kini, tidak peduli apakah
hal ini semuanya pada waktu diundangkan peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi social yang terjadi pada saat ini.
D.
Metode Argumentasi Hukum
Metode argumentasi atau konstruksi hukum adalah kegiatan berpikir
problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran
kebudayaannya. Metode ini
digunakan dalam hal ada suatu peristiwa belum ada aturan hukumnya atau tidak
lengkap atau ada kekosongan hukum (rechts vacuum).
Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara
untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya atau belum mengaturnya atau tidak
lengkap) maka metode argumentasi ini sangat penting demi menjamin keadilan.[3]
Metode
argumentasi itu dapat dibagi sebagai berikut:
- Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Analogi
merupakan metode penemuan hukum yang dalam hal ini hakim mencari esensi yang
lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik telah diatur
oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. Ada kemungkinan
peraturan perundang undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk
menerapkan undang-undang pada peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode
argumentum per analogiam atau analogi.
2.
Metode
Argumentum a Contrario
Metode
ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan
pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk
peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu
dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu
peristiwa tidak secara khusus diatur olch undang-undang, tetapi kebalikan dari
peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang, Jadi metode ini mengedepankan
cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang
dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
3.
Metode
Penyempitan Hukum
Kadang-kadang
peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka
perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dalam peraturan-peraturan yang sifatnya umum
diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan
atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut,
hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari linkungan peraturan
yang umum dan selanjutnya menyelesaikan menurut suatu peraturan yang ditemukannya
sendiri. Tindakan tersebut dinamakan dengan mempersempit atau menghaluskan
hukum.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Pemeran utama yang peranannya sangat
menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah hakim. Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
2. Penafsiran
hukum adalah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan
menegaskan baik dalam arti memperluas atau mempersempit pengertian hukum yang
ada dalam rangka penggunaannya untuk
memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Metode Penafsiran dapat dibagi menjadi empat, yaitu Penafsiran Gramatikal (Tata Bahasa), Penafsiran
Sistematis atau Logis , Penafsiran
Histiris dan Penafsiran Teleologis atau Sosiologis.
4. Metode argumentasi atau konstruksi hukum adalah kegiatan berpikir
problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran
kebudayaannya. Metode ini dapat dibagi menjadi berikut, yaitu metode analogi,
metode a Contrario, serta metode penyempitan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Badriyah, Siti Malikhatun. 2016. Sistem Penemuan Hukum
Dalam Masyarakat Prismatik. Jakarta : Sinar Grafika.
Kamil, Iskandar. 2006. “Kode Etik Profesi
Hakim” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah
Agung RI.
Mashudi. 2015. Pengantar Ilmu Hukum. Semarang :
CV. Karya Abadi Jaya.
[1] Kamil, Iskandar. “Kode Etik
Profesi Hakim” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim
dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
[2] Siti Malikhatun Badriyah, Sistem
Penemuan Hukum Dalam Masyarakat Prismatik, Jakarta : Sinar Grafika, 2016,
hal. 14
[3] Siti Malikhatun Badriyah, Sistem
Penemuan Hukum Dalam Masyarakat Prismatik, Jakarta : Sinar Grafika, 2016,
hal. 23
[4] Mashudi, Pengantar Ilmu Hukum, Semarang
: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hal. 168
0 Komentar