A.
Definisi Qawa’id fiqhiyyah
Qawaid
fiqhiyyah berasal bahasa arab yang terdiri dari dua suku kata, yaitu qawa’id
dan fiqhiyyah. Qawa’id adalah bentuk jama’ dari kata qa’idah yang secara etimologi
berarti dasar atau fondasi (al-asas). Jadi qawa’id berarti dasar-dasar sesuatu.[1]
Sedangkan fiqhiyyah berasal dari kata fiqh
yang ditambah ya nisbah, gunanya untuk menunjukkan jenis. Secara etimologi,
kata fiqh berasal dari kata fiqhan yang merupakan mashdar dari fi’il
madhi faqiha yang berarti paham.
Adapun
pengertian qawa’id fiqhiyyah, secara istilah adalah kaidah-kaidah yang bersifat
umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah
masalah yang berada dalam cakupannya.
B.
Urgensi Qawa’id fiqhiyyah
Dari ke-empat
imam madzhab terkait urgensi mengenai qowa’id fiqhiyyah dalam istinbath hukum
mengalami perbedaan, bisa dilihat dari mazhab syafi’I ada yang berpendapat
qowa’id fiqhiyyah tidak bisa dijadikan hujjah seperti perkataan Al Juwaini
dalam kitabnya al ghayatsi tujuan akhir dari qowa’id fiqhiyyah adalah untuk
memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu,
bukan untuk beristidlal dengannnya.
Dan menurut Al Bannani qowa’id fiqhiyyah bisa dijadikan hujjah.
Tak jauh dari
itu mazhab hanafi pun sama dengan mazhab syafi’I ada yang mengatakan qowa’id
fiqhiyyah bisa dijadikan hujaah ada yang mengatakan tidak bisa dijadikan
hujjah. Berbeda dengan mazhab maliki, menetapkan qowa’id fiqhiyyah sejajar
dengan usul fiqh, sebab kaidah-kaidah fiqh itu termasuk bagian syari’at yang
dapat memperjelas metodologi berfatwa. Adapun alam mazhab hambali, ulama merka
tampaknya sepakat menjadikan qowa’id fiqhiyyah sebagai hujjah ( dalil hukum).
Berdasarkan
penjelasan diatas tampaknya ada kesepakatan antara mazhab bahwa untuk
kaedah-kaedah fiqh yang berasal langsung dari teks hadis bisa diterima sebagai
dalil.[2]
Dalam
kitab faroid al bahiyyah dikatakan: “sesungguhnya cabang-cabang masalah fiqh
itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka menghafal
kaidah-kaidah itu termasuk yang terbesar gunanya[3]
C.
Proses pembentukan Qawa’id fiqhiyyah
Para imam
mazhab dalam menggali suatu hukum memiliki kerangka pikiran khusus yang dapat
dijadikan aturan pokok. Sehingga hasil istinbat mereka dapat dievaluasi
secara obyektif oleh generasi penerus mereka.
Kaidah dasar
itu terbentuk dan terkumpul secara berangsur-angsur. Rumusan kaidah tersebut
adalah hasil pembahasan yang dilakukan fuqoha’ besar ahli takhrij dan tarjih
dengan mengistimbatkan dari nash-nash syari’ah yang bersifat umum, dasar-dasar
ushul fiqh, illat hukum dan buah pemikiran mereka.
Pada umumnya
kaidah fiqh merupakan hasil usaha para fuqoha dari berbagai mazhab, tetapi
sulit dipastikan siapa penulis pertamanya.[4]
Walaupun
demikian, di kalangan ulama di bidang kaidah fiqh menyebutkan bahwa Abu Thahir
al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad
ke-4 H, telah mengumpulkan kaidah fiqh mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Kemudian
Abu Sa’id al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’I mengunjungi Abu Thahir dan
mencatat kaidah fiqh yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kuarng lebih 100
tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang kemudian
menambah kaidah fiqh dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Dari paparan
diatas, jelaslah bahwa kaidah fiqh muncul pada akhir abad ke-3 H. Kedua,
tantangan dan masalah yang harus dicarikan solusinya juga bertambah terutama
karena telah meluasnya wilaya kekuasaan islam pada masa itu, maka ulama
membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah, baru kemudian muncul
kaidah fiqh.[5]
D.
Kitab-kitab kaidah fiqh
1.
Kitab-kitab kaidah fiqh Mazhab Hanafi
a.
Ushul al-Karkhi (260-340 H) yang lebih dikenal dengan Abu Hasan
al-Karkhi yang di dalamnya memuat 37 kaidah fiqh.
b.
Ta’sis al-Nazhar, karangan Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H). Di dalam
kitab tersebut dicantumkan 86 kaidah fiqh.
c.
Al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Ibnu Nuzaim (w. 970 H). Nama
lengkapnya Zain al-Din bin Ibrahim bin Muhammad, terkenal dengan nama Ibnu
Nuzaim al-Hanafi al Mishri, terdapat 25 kaidah.[6]
2.
Kitab-kitab kaidah fiqh Mazhab Maliki
a.
Al-Furuq, karangan al-Qurafi (w. 684 H), nama lengkapnya Abu ‘Abbas
Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Syihabuddin al-Qurafi.
b.
Al-Qawa’id, karangan al-Maqari (w. 758 H) nama lengkapnya Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad, kitsb ini memuat kurang lebih 100 kaidah.
c.
Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, karangan al-Winsyarisi
(w. 914 H), nama lengkapnya Ahmad bin Yahya bin Muhammad, kitab tersebut mengandung
118 kaidah.
3.
Kitab-kitab kaidah fikih Mazhab al-Syafi’i
a.
Al-Asybah wa al-Nazhair (w. 716 H), karangan Ibnu al-Wakil, nama
lengkapnya Abdullah bin al-Murahili.
b.
Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, karangan Abu Sa’id
al-Ala’ (w. 761 H), sering pula disebut Shalahuddin.
c.
Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, karangan Badrudin al-Bakri.
Dalam kitab tersebut dijelaskan tentang kaidah dan dhabith-nya serta
kekecualinya, yaitu masalah fikih yang tidak termasuk di dalam kaidah atau
dhabith tersebut.
4.
Kitab-kitab kaidah fikih Mazhab Hanbali
a.
Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, karangan Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H),
nama lengkapnya Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah.
b.
Taqrir al-Qawa’id wa Tahrir al-Fawaid, karangan Ibnu Rajab
al-Rahman bin Syihab bin Ahmad bin Abi Ahmad Rajab. Dalam kitab ini ada 160
kaidah.
c.
Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al- Fiqhiyyah, karangan Ibnu
Abd al-Hadi (w. 909 H). Nama lengkapnya Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin ‘Abd
al-Hadi.
E.
Perbedaan kaidah fiqh dengan usul fiqh
Di antara para
penelitian di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fiqh menyatakan bahwa yang
pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh adalah al-Qurafi
(w. 684 H) yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal yaitu ushul dan
furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah
fiqhiyah”
Perbedaan antara kaidah ushul dan
kaidah fiqh
1.
Kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath
al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari
dalil-dalilnya.
2.
Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fiqh hanya bersifat aglabiyah (pada
umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.
3.
Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang
praktis,sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum ang serupa yang
kembali kepada satu hukum yang sama.
4.
Kaidah ushul fiqh muncul sebelum furu’ sedangkan kaidah fiqh muncul
setelah furu’
5.
Kaidah ushul fiqh menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di
dalam berbagai macam dalil yang merinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum
dari dalil-dalil tersebut. sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalah fiqh yang
terhimpun di dalam kaidah tadi.[7]
6.
Kaidah ushul fiqh lahir lebih dahulu dari pada fiqh sedangkan
kaidah fiqh lahir sesudah adanya fiqh.
7.
Kaidah ushul fiqh merupakan dalil-dalil umum sedangkan kaidah fiqh
merupakan hukum-hukum umum.[8]
G. Hubugan kaidah fiqh, fiqh, dan ushul fiqh
Fiqh merupakan produk
dari ushul fiqh. Dan dari fiqhlahk kemudian dilahirkan qowa’id fiqhiyyah untuk
memudahkan manusia mengetahui dan memahami ketentuan hukum secara singkat terhadap berbagai masalah, sehingga manusia
merasa nyamn dalam bertindak karen cepat mengetahui status hukumnya.
Dengan
demikian, usuhul fiqh adalah metode fiqh adalah hasilnya, dan qowa’id fiqhiyyah
merupakn ringkasan dari masalah-masalah fiqh terdahulu yang dibuat dalam bentuk
ungkapan singkat, yang dapat pula dijadikan bahan pertimbangan pedoman dalam
menetapkan hukum-hukum berbagai peristiwa yang terjadi dikemudian hari, termasuk masalah masalah yang tidak ada
nashnya mengatur secara langsung.[9]
H. Sejarah pertumbuhan, perkembangan
dan pengkodifikasian qowa’id fiqhiyyah
1.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan
pada awalnya cikal bakal munculnya qowa’id fiqhiyyah bersamaan
dengan hadirnya rasulullah saw melalui hadis-hadisnya yang menjelaskan dan
merinci ajaran islam yang bersumber dari wahyu allah . bahkan tak jarang beliau
juga menetapkan sesuatu hukum yang belum disebutkan secara eksplisit dalam al
qur’an. Beberapa sabda beliau sangat gampang untuk dihafal dan mampu menjawab
beberapa masalah sekaligus yang terjadi pada zamannya. Terpengarah gaya ucapan-ucapan
rasulullah yang ringkas, sederhana, dan bermakna tersebut maka para sahabat
banyak yang meneladani dengan menggunakan gaya bahasa yang singkat, padat, mencakup dan menyelsaikan beberapa masalah
sekaligus yang mempunyai kesamaan karakter. Tidak jarang sahabat umar juga pernah
memutuskan masalah dengan perkataanya: “penerima hak berdasarkan pada
syarat-syarat “ ,beserta sahabat yang lainnya juga.
Hal ini berlanjut pada masa tabi’in dan para imam madzhab, gaya
jawami’ alkalim nabi semakin banyak dicontoh dan menginspirasi mereka untuk
berlomba-lomba membuat kaedah yang dapat memudahkan mereka dalam mengkelompokan
masalah masalah fiqh sehingga dapat cepat merespons problematika kasus-kasus
hukum yang semakin banyak bermunculan.
Qowa’id fiqhiyyah menjadi salah satu displin ilmu tersendiri pada
abad IV M dan dimatangkan qada abad-abad sesudahnya. Pemecahan masalah dengan
menggunakan ushul para imam mujtahid membuat ruang lingkup dan masalah-masalah
fiqh menjadi berkembang. Para fuqaha mulai membuat metode-metode baru dalam
fiqh.
Seiring semakin banaknya persoalan para ulama mempunyai inisiatif
untuk membuat kaidah dan dhabit yang
dapat memelihara hokum furu’dan fatwa para ulama tersebut dari kesemrawutan.
Hal ini lah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi dalam risalahnya dengan
memakai istilah ushul. Apabila ushulmencakupberbagai masalah fiqh, maka disebut
kaidah, sedangkan kalua hanya mencakup satu masalah fiqh disebt dhabit.[10]
2.
Pengkodifikasian
Usaha
kodifikasi itu terdapat diberbagai mazhab, terutama mazhab empat.
a.
Kalangan fuqaha hanafiyyah
1.
Abu tahir al-dibas, seorang faqih yang tuna netra yang hidup dibad
tiga dan keempat hijriyyah, yang pertama kali mengumpulkan kaidah fiqhiyah,
sebanyak 17 kaidah yang selalu ia hafalkan berulang-ulang dimasjid setelah
jamaáh pada pulang. Usaha ini dilanjutkan oleh imam aba alhasan ubaidillah al
karkhi (260-340) sebanyak 37 kaidah
2.
Imam zaenul abidin bin Ibrahim al mishri (926-970m) menyusun sebuah
kitab berjudul “Al-Asybah Wa Al-Nadhair” . kitab ini memuat 25 kaidah ,yang
dibagi menjadi 2 bagian : bagian pertama berupa kaidah-kaidah asasiyyah yang
berjumlah 6 buah dan bagian yang kedua terdiri dari 19 buah kaidah yang
membahas beberapa maudlu yang berbeda dengan diberi keterangan secara mendetail
dalam bentuk hokum furu’yang praktis.
b.
Fuqaha malikiyyah
1.
Imam juzaim, menyusun kitab berjudul äl-qawaid”
2.
Syihabuddin abul abbas ahmad bin idris al-qarafi seorang faqih abad
ketujuh telah menyusun kitab anwar al furuqfi anwa’al furuq yang memuat
548 buah kaidah, setiap kaidah diberi contoh furu’yang munasabah sehingga
menjadi jelas antara kaidah yang satu dengan yang lain
c.
Fuqaha syafiÃyyah
1.
Abu said al harawi membacakan 7 buah kaidah yang ia dengar dari
imam abi tahir al dibasi, dari 17 kaidah yang selalu dihafalnya seusai shalat
jamaáh isya.
2.
Imam Muhammad izzudin bin abdul salam seorang faqih diabad ketujuh
hijriyyah , menyusun kitab berjudul qowaid al ahkam fi mashalih al anam,.
d.
Fuqaha hanbaliah
1.
Najmudin al-thufi , yang menyusun kitab Al-Qawaid Al Kubro Dan
Al Qowaid Al Sughro.
2.
Imam abdul Rahman bil rajab menyusun kitab Al-Qawaid . kitab ini
dipuji para fuqaha karena ketinggian nilainnya diantara kitab-kitab qawaid yang
lain.
[1] Toha Andika, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah (Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer), (Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 1.
[2] Toha Andika, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah (Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer), (Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 23-27.
[3] Ghozali ihsan, kaidah-kaidah hukum islam, (semarang: KAJ, 2015) hlm
15
[4] Ghozali Ihsan, Kaidah-kaidah hukum islam, (semarang: KAJ, 2015)HLM
7
[5] H. A. Djauli, Kaidah-kaidah
fikih (Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
praktis), (Jakarta: Kencana, 2016) hlm 12.
[6] H. A. Djauli, Kaidah-kaidah
fikih (Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
praktis), (Jakarta: Kencana, 2016) hlm 19.
[7] H. A. Djauli, Kaidah-kaidah
fikih (Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis),
(Jakarta: Kencana, 2016) hlm 22-23.
[8] Toha Andika, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah (Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer), (Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 19-20.
[9] Toha Andika, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah (Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer), (Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 22.
[10] Toha Andika, Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah (Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam
Kontemporer), (Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 7-12
0 Komentar