Proses Pemilihan Usman Bin Affan Dan Ali
Bin Abi Thalib
1. Pemilihan Usman Bin Affan
Umar bin khattab mengangkat enam orang
sahabat dari kaum muhajirin yang terkemuka umtuk memilih diantara mereka
seorang khalifah. Badan yang terdiri dari enam orang ini dinamakan syura, yang
terdiri dari, usman, Abdurrahman bin auf, sa’ad bin abi waqas, ali bin abi
thalib, zubair bin awwam, talhah bin ubaidillah, serta Abdullah bin umar(anak
umar ). Umar bin khattab telah menetapkan tata tertib sebagai berikut:
·
Khalifah
yang dipilih harus dari angota syura tersebut.
·
Jika
ada dua calon yang dukungannya sama besar, maka yang didukung oleh Abdurrahman
bin auf itulah yang menang.
·
Bila
ada anggota syura yang tidak ikutdalam pemilihan maka akan dipenggal.
·
Apabila
dalam masa tiga hari tidak berhasil memilih khalifah, maka ke enamnya akan
dipenggal, dan menyerahkan kepada rakyat untuk mengambil keputusan.
Abdurrahman
bin auf mengajukan syarat yaitu apabila anda terpilih menjadi khalifah,
dapatkah anda berjanji bahwa anda akan bertindak menurut al qur’an dan sunnah
rasul dan mengikuti aturan dan keputusan abu bakar dan umar ?. usman menerima
persyaratan itu. Lalu abdurahman berkata kepada ali, baiat lah usman atau
kupenggal lehermu. Usman dikenal sebagai orang yang lemah lembut, dengan
sifatnya yang seperti itu dimanfaat kan oleh para anggota syura yang lain.[1]
2. Pemilihan Ali Bin
Abi Thalib
Pengukuhan ali menjadi khalifah tidak semulus tiga
orang khalifah pendahulunya, dia dibaiat ditengah suasana berkabung atas
kematian usman, pertentangan dan kekacauan umat islam madinah.sebab kaum
pemberontak yang membunuh usman mendaulat ali supaya bersedia dibaita menjadi
khlaifah.
Setelah usman terbunuh kaum pemberontak mendatangi
para sahabat senior yang ada dikota madinah, seperti ali bin abi thalib,
talhah, zubair, sa’ad bin abi waqas dan Abdullah bin umar, agar bersedia
menjadi khalifh, namun mereka menolak. Akan tetapi baik kaum pemberontak maupun
kaum ansor dan muhajirin lebih menginginkan ali menjadi khalifah. Ia didatangi
beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut
agar segera dibaiat menjadi khalifah. Namun ali menolak. [2]Sebab
ia menghendaki agar urusan itu diselsaikan lewat musyawarah dan mendapat
persetujuan dari sahabat senior terkemuka. Tetapi setelah masyarakat
mengemukakan bahwa umat islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak
terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya ali bersedia dibaiat menjadi
khalifah. Ia dibaiat oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan ansorserta para
tokoh , sahabat, seperti tolhah dan zubair. [3]
B. Sitem Politik dan Ketatanegaraan Masa
Pemerintahan Ustman bin Affan
Lembaga pemerintahan pada masa Utsman bin Affan terbagi menjadi
berbagai bagian, antara lain:
1. Pembantu (Wazir/Muawwin)
Wazir/Muawwin
adalah pembantu yang diangkat oleh khalifah agar membantu tugas-tugas serta
tanggung jawab kekhalifahan Islam. Tugas dari Wazir/Muawwin ini adalah membantu
khalifah dalam bidang pemerintahan (Muawwin Tanfidz) dan membantu khalifah
dalam bidang administrasi (Muawwin Tafwidz). Wazir/Muawwin pada masa khalifah
Utsman bin Affan adalah Marwan bin Hakam. Bukan hanya menjadi pembantu saja,
Marwan bin Hakam juga menjadi sektretaris Negara.[4]
2. Pemerintahan daerah/gubernur
Awal
pemerintahan khalifah Utsman bin Affan para pemimpin daerah yang telah diangkat
oleh Umar bin Khattab telah menyebar ke berbagai dan kota Islam. Utsman bin Affan
menetapkan kekuasaan para gubernur sebelumnya yang sudah diangkat oleh Umar bin
Khattab. Masa para gubernur ini untuk memerintah lagi yaitu selama satu tahun
penuh. Kebijakan ini adalah kebijkan dari Umar bin Khattab yang menyuruh untuk
menetapkan pemimpin daerah masa Umar bin Khattab selama satu tahun.[5]
3. Hukum
Pentingnya
masa khalifahUtsman bin Affan dalam bidang hukum terlihat dalam dua hal yang
mendasar,antara lain :
a. Menjaga teks-teks pada masa Nabi
Muhammad dalam bidang hukum, terikat dengan apa yang ada di dalam teks,
mengikuti dan mentaati teks yang ada.
b. Meletakkan sistem hukum baru untuk
memperkuat pondasi negara Islam yang semakin luas dan menghadapi hal-hal yang
baru yang tambah beraneka ragam (Syalabi, 2013: 174-176).
Hakim-hakim
pada masa khalifah Utsman bin Affan antara lain.
1.
Zaid bin Tsabit yang bertugas di Madinah.
2.
Abu Ad-Darda bertugas di Damaskus.
3.
Ka’ab bin Sur bertugas di Bashrah.
4.
Syuraih di Kufah.
5.
Ya’la bin Umayyah di Yaman.
6.
Tsumamah di Sana’a.
7.
Utsman bin Qais bin Abil Ash di Mesir.[6]
4. Baitul
Mal (keuangan)
Baitul Mal adalah tempat yang mengatur
masalah keuangan. Bentuk peran Baitul Mal ini mengurusi semua masalah keuangan
negara. Tugas Baitul Mal mulai dari membayar gaji para khalifah, gaji para
pemimpin daerah (gubernur), gaji para tentara, dan gaji para pegawai yang
bekerja di pusat pemerintahan. Baitul Mal juga mengatur semua masalah pajak,
dan masalah-masalah sarana dan prasarana. Pemasukan yang diambil dari hasil
rampasan perang, pajak dan pengeluaran yang dikeluarkan untuk dana haji, dana
perang semua yang mengurusnya dan mengaturnya adalah Baitul Mal atas izin
khalifah Utsman bin Affan.
5. Militer
Utsman bin Affan memilih tokoh-tokoh yang
mampu memimpin kekuatan Islam seperti al-Walid, Abu Musa al-Asy’ari, dan Said
bin al-Ash. Tokoh militer tersebut sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan
yang terjadi setelah pemerintahan Umar. Keseriusan Utsman bin Affan dalam
bidang militer menunjukkan bagaimana kekuatan Islam pada waktu itu. Kemajuan
pemerintahan Islam pada masa Utsman bin Affan selama 12 tahun juga dikarenakan
mampu menjaga kedaulatan di daerah kekuasannya. Kemajuan militer pada waktu itu
membawa pemerintahan Islam dibawah kepemimpinan Utsman bin Affan kepuncak
kejayaan.
6. Majelis Syuro
Majelis Syuro adalah orang-orang yang mewakili
kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan khalifah.
Orang non muslim juga diperbolehkan menjadi anggota majelis syuro untuk
menyampaikan pengaduan tentang kedzaliman para penguasa atau penyimpangan dalam
pelaksanaan hukum Islam.majelis syuro dibagi menjadi tiga, yaitu; dewan
penasehat, dewan penasehat umum, dan dewan penasehat tinggi dan umum.
C.
Sistem Politik dan Tata Negara Pada Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Syahidnya khalihfah Utsman membuat
kursi kekhalifahan kosong selama 2-3 hari banyak orang khususnya para
pemberontak yang telah membunuh Utsman mendesak Ali untuk segera menempati
posisi khalifah yang ke-4. Setelah Ali dibai’at menjadi khalifah beliau
menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Mesjid Nabawi. Pidatonya
menggambarkan bahwa Khalifah Ali menganjurkan dan memerintakan agar umat Islam:
1. Tetap berpegang teguh pada Al-Quran dan
Hadits sebagai petunjuk yang membedakan mana yang baik dan jahat
2. Taat dan bertakwa kepada Allah serta
mengabdi pada Negara.
3. Saling memelihara kehormatan dengan
sesama muslim dan umat lain
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan untuk
kepentingan umum. [7]
5. Taat dan patuh kepada pemerintah
Dalam
pidato tersebut Ali juga menyadari ada pihak-pihak tertentu yang tidak
menyetujui pengangkatannya, sehingga ia memberingatkan bahwa yang membangkang
akan mendapat tindakan,karena mereka dianggap melawan pemerintah yang sah. Pada
awal pemerintahannya Ali melakukan konsolidasi internal yaitu:
1. Mengganti pejabat daerah yang diangkat
Utsman. Dikirim kepala daerah yang baru yang akan menggantikannya. Adapun
gubernur baru yang diangkat oleh Ali adalah:
a. Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syiria
b. Usman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah
c. Umrah bin Syihab sebagai Gubernur Kufah
d. Ubaidah binAbbas sebagai Gubernur Yaman
e. Qays bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang
dibagi-bagikan, termasuk didalamnya hibah atau pemberian Utsman kepada keluarga
dan kaum kerabatnya, dilakukan karena tanpa melalui prosedur yang sah.[8]
3. Memindahkan Ibukota ke Kuffah
4. Kebijakan Ali mengenai zakat
-
Kebijakan
zakat dan pengelolaan uang uang negara Ali mengikuti sebagaimana yang di
terapkan oleh Umar bin Khattab zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta
yang diletakkan di Baitul mal namun zakat berbeda dengan harta lainnya.
-
Jizyah
adalah iuran wajib atas seseorang yang
berstatus dhimni (non muslim) yang berada di wilayah Islam. Jizyah
diambil berdasarkan pada keuangan mereka.
Khalifah Ali hanya memerintah selama enam tahun,selama
masa pemerintahannya, beliau menghadapi berbagai penolakan. Tidak ada masa
sedikitpun dalam pemerintahannya yang bisa dikatakan stabil. Ali di baiat
menjadi khalifah ditengah kekacauan dan kerusuhan akhibat meninggalnya Khalifah
Utsman. Ali dituntut oleh muawiyah agar ia menangkap para pembunuh Utsman. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Aisyah,Thalhah dan Zubair. Tuntutan itu tidak
dipenuhi oleh Ali.
Akhirnya situasi
politik yang eksplosif itu tak dapat di bendung. .Khalifah Ali yang telah
mengetahui persiapan kedua kubu,Muawiyah dan Aisyah,segera mengirim pasukan
untuk mencari jalan damai.Namun usaha itu gagal. Maka Ali pun memberlakukan
hukum darurat dan menyatakan perang kepada para pemberontak itu.
Kubu yang pertama dihadapi Ali dan pasukannya adalah
pasukan yang dipimpin oleh Aisyah,Thalhah dan Zubair pada tahun 36 Hijriah yang
dikenal dengan perang Jamal,kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian ia
menghadapi Muawiyyah. Kedua pasukan bertempur di Shifin,di lembah sungai efrad
yang kemudian dikenal dengan peang Shiffin pada tahun 37 Hijriah. Perang ini
dihentikan dengan peristiwa tahkhim atas permintaan pikah Muawiyyah untuk
berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari majlis Tahkim ini bukannya
menyelesaikan masalah dan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian melainkan
terjadinya dualisme pemerintahan. Karena majlis tahkim, atas rekayasa dan
siyasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatannya dan
mengukuhkan Muawiyah menjadi khalifah, sehingga secara de jure Muawiyah berada
di pihak yang menang. Namun sesudah peristiwa Tahkim itu mayoritas ummat islam
masih mengakui Ali sebagai Khalifah.Dua tahun kemudian Muawiyah melalui
intrik-intrik politiknya, diproklamirkan menjadi Khalifah.
[1]
O. hashem, tsaqifah awal
perselisihan umat, (rausyan fikr: Yogyakarta, 2004), hlm 250-252
[3]
[3]
Dr. J. Suyuthi.Ma.Pt, Fiqh Siyasah Ajaran,Sejarah dan Pemikiran,( Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 1993),
hlm.152
[4]M. murad, kisah hidup usman bin
affan, (zaman: Jakarta, 2007), hlm 110-119
[5]
A. syalabi, sejarah dan
kebudayaan islam 1, (al-husna zikra: Jakarta, 1997), hlm 336-338
[6]
D. supriyadi, sejarah peradan
islam, (pustaka setia: bandung, 2008), hlm
[7]
Dr. J. Suyuthi.Ma.Pt, Fiqh Siyasah Ajaran,Sejarah dan Pemikiran,( Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 1993),
hlm.154
0 Komentar