Pengertian Al – Umuru Bi Maqasidiha

Recent Posts

Pengertian Al – Umuru Bi Maqasidiha


A.      Pengertian Al – Umuru Bi Maqasidiha

Kata Al – Umuru Bi Maqasidiha itu sendiri terdiri dari dua unsur yaitu kata al-umuru yang merupakan bebtuk plural dari kata al-amru yang berarti keadaan, peritiw, keadaan, dan kata al-maqashid yaitu bentuk plural dari kata al-maqshod,qashd,maqshid,qushud yang berarti menuju suatu arah tujuan, jalan lurus.
Secara terminology Al – Umuru Bi Maqasidiha adalah suatu perbuatan seseorang baik secara lisan maupun tingkah laku yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud/ dan tujuan dari perbuatan tersebut.[1]
        :                                                                                                    الأمور بمقـاصدها  
“Segala perkara tergantung pada tujuannya.”
Contoh dari penerapan kaidah Al – Umuru Bi Maqasidiha:
1)   Makan dan minum jika dimaksudkan agar menjadi kuat beribadah, maka mndapat pahala,tetapi jika tidak ada maksud tersebut maka tidak ada pahala.
2)   Orang memeras anggur adalah tergantung apa niatnya? Dibuat cokak atau arak![2]
B. Kaidah Dan Landasan Al Umur Bi Maqosidiha
1. Kaidah Al Umur Bi Maqosidiha
         Adapun kaidah Al umur bi maqosidiha sebagai berikut:
a.      لاَ لثَوَابَ إِلا بِا لنيَةِ
          “Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”
    Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah (jika dilakukan tanpa niat, ibadah tersebut tidak sah karena niat merupakan rukun) maupun ibadah yang ‘ammah (jika dilakukan tanpa menyertakan niat beribadah maka perbuatan keduniaan semata tidak mendatangkan pahala).[3]
b.      نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌمِنْ عَمَلِهِ
           “Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”
   Misalkan, apabila ada seseorang yang mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut bukanlah bener-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar memndapat sanjungan dari orang lain.
            c.  العبرة فى العقود للمقا صد والمعا ني للألفا ظ والمبا ني
Artinya : pengertian yang diambil dari sesuatu tujuan bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya. Sebagai contoh apabila seseorang berkata: “Saya hibahkan barang ini untuk selamanya, tapi saya minta uang satu rupiah”, meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
            d.  لوا ختلف اللسا ن والقلب فا لمعتبرما فى القلب
Artinya: Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada didalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati.
Sebagai contoh, apabila hati niat wudu, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudunya tetap sah.[4]

2. Landasan Kaidah Al Umuru Bi Maqosidiha
         a. Qs. Al-Bayyina ayat 5
وَمَاأُمِرُواإِلَّالِيَعْبُوا االلهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”
          b. QS. Ali Imron ayat 145
وما كان لنفس ألابأ دن الله كتبامؤجلاومن يرد ثواب الدنيانؤته منها ومن يردثواب الأخرة نؤ ته منها وسنجزى
Artinya : “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
          c. لاعمل لمن نية له
Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat” (HR. Anas Ibn Malik ra.)
          d. Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah انما الاعمالنيات  “keabsahan amal tergantung pada niat” [5]


C.  Penerapan Al-Umur Bi Maqashidiha
orang yang mempunyai  niat untuk melakukan dosa besar seperti membunuh, namun tidak sempat melakukannya maka niatnya itu tetap dikira berbuat. Seperti Hadis Rasulullah SAW. menyatakan:
                                                
 يِ ا ف َمُهَ ف ، ُهَبِ اح َ ا ص َمُهُدَحَ أ َلَتَقَ ف ، اَمِهْيَفْيَسِ ب ِ ان َمِلْسُمْ ى ال َقَتْ ا ال َذِإ ِ  ار َّ الن اَذَ ه ،ِ َّ اللّ َ ول ُسَ ا ر َ : ي ُتْلُق ُ « :َ ال َ ؟ ق ِ ول ُتْقَ الم ُ ال َ ا ب َمَ ف ،ُلِ ات َ الق هَّنِإ ِ  47 »هِبِ اح َ ص ِلْتَ ى ق َلَ ا ع ً يص ِرَ ح َ ان َك [6]

Apabila dua Muslim berkelahi dengan saling menghunus  pedang, yang terbunuh dan yang membunuh, kedua-duanya  dimasukkan ke dalam neraka. Aku bertanya; Wahai Rasulullah!  ini adalah balasan bagi orang yang membunuh (masuk neraka  adalah patut), tetapi bagaimana dengan keadaan orang yang  dibunuh? Rasulullah menjawab; kerana ia juga berniat untuk  membunuh lawannya.   Dalam kasus seperti pembunuhan di atas, para hakim perlu menentukan hukumannya berdasarkan qarinah (petunjuk) untuk menentukan sengaja atau tidak sengaja. Yaitu bukti-bukti yang tampak melanjutkan tindakan si pembunuh sebagai refleksi daripada apa yang diniatkannya di dalam hati,  sama ada pembunuhan tersebut dilakukan secara sengaja, menyerupai sengaja  ataupun tidak sengaja.
 Sebagai contoh, dalam sesuatu kasus pembunuhan tersebut, hakim boleh  bergantung kepada fakta-fakta yang ada kaitannya dengan pembunuhan itu, seperti A dilihat berlari keluar dari  rumah B dalam keadaan baju yang dipakainya berlumuran darah sedangkan mereka diketahui memang mempunyai hubungan yang tidak baik. Aspek pembuktian ini merupakan suatu indikator yang sangat penting dalam bidang kehakiman lebih khusus dalam kasus pelaksanaan hukum hudud, qisas dan takzir, selaras dengan ajaran Islam yang sangat menekankan aspek  ini dalam menetapkan sesuatu hukuman kepada seseorang yang dituduh di  Pengadilan.
Hal ini begitu signifikan sebab ia akan menjadikan seseorang hakim bertindak dan bersikap adil dalam menjatuhkan hukuman atas pelaku jinayat tersebut di pengadilan. Di samping ia turut berfungsi untuk mengakhiri pertikaian. Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 111:

  ْ ْ  لُق ْ  وا ُات َه نِ مُكَان َهْرُب ْ  إ َ مُنت ُك  ين ِقِ اد َص

 Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.  
Niat yaitu mengqashad sesuatu disertai dengan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah, dan tempatnya dalam  hati pada seluruh ibadah.  Niat itu adalah maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan secara ashl tidak berkaitan dengan lisan.  Karena hakikat niat adalah menyengaja (alqashd), mayoritas ulama fiqh sepakat bahwa tempat niat adalah dalam hati. Meskipun demikian, karena inbiats (bekasan) dalam hati itu sulit, maka para ulama menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedar untuk menolong dan membantu gerakan hati.
                                                                                                          
Namun, ketika seseorang berniat di dalam hatinya tanpa lafazh (diucapkan) melalui lisan, maka diperbolehkan. Sebab pada saat berniat, telah terjadi qashd di dalam hati dan mengarahkan hati serta segala kecenderungannya pada apa yang hendak dilakukan. Hal ini dipandang lebih utama dari sekedar pe-lafazh-an dengan lisan. Karenanya, seorang yang me-lafazh-kan niat ketika hendak melaksanakan shalat, misalnya,tetapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan shalatnya menjadi gugur



[1] http://fikihilmiah.blogspot.co.id/2012/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-bi.html
[2] Ihsan A. Ghazali, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Cetakan pertama,Basscom Multimedia Grafika, 2015), hlm.19
[3] Suyanto, Dasar-dasar Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 234
[4] Djazuli A, Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)
[5] Abdul Mudjib, Al-Qowaidul Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Nur cahaya, 1990)
[6] Muhammad bin Futuh al-Humaidy, al-Jam’u Baina alShahihain al-Bukhari wa al-Muslim, Beirut, Dar al Nasyr, Juz 1,   2002 h. 221


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Jasa D di Fazdesain.id
    Creative Design Agency
    "Nyatakan hidupmu dengan desain." hanya di @fazdesain.id !
    jasa pembuatan desain grafis online mudah, murah dan cepat, menerima pembuatan desain logo, desain instagram feeds, infografis, poster, pamflet, banner, flyer, dll sesuai permintaan anda Siap kerja remote

    BalasHapus