BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Disiplin
Hukum
Sebagaimana telah dikemukakan, disiplin hukum adalah
sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala-gejala hukum yang ada dan hidup
ditengah pergaulan.
Apabila lebih seksama ditelaah pengertian mengenai
disiplin ini, maka dapat dibedakan antara disiplin analitis dan disiplin
perspektif. Disiplin analistis merupakann sistem ajaran yang menganalisa,
memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang dihadapi, contohnya sosiologi,
psikologi, ekonomi dan lain-lain. Disiplin perpektif merupakan sistem-sistem
ajaran yang menentukan apakah seyogyanya atau yang seharusnya dilakukan didalam
menghadapi kenyataan-kenyataan tertentu, contohnya adlah hukum, filsafat dan
lain-lain.
Maka jelaslah disiplin hukum merupakan disiplin
perspektif yang berusaha menentukan apakah seyogyanya, seharusnya dan patut
dilakukan dalam menghadapi kenyataan.[1]
B.
Ilmu-Ilmu
bantu bagi Ilmu Hukum
1.
Sosiologi
Hukum
Sosiologi
hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis
mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan
gejala-gejala sosial lain. Studi yang demikian ini memiliki beberapa
karakteristik.
Kekhasan tersebut adalah :
a. sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan
terhadap praktek-praktek hukum, seperti dalam pembuatan undang-undang, praktek
peradialan dan sebagainya. Sosiologi hukum berusaha menjelaskan mengapa
peraktek demikian itu terjadi, faktor apa yang berpengaruh, latar belakang dan
sebagainya. Cara ini oleh Max Weber dinamakan sebagai
interpretative-understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum yang
konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak
dari luar saja, melainkan ingin memperoleh pula penjelasan yang bersig=fat
internal, yaitu yang meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Disini tidak
dibedakan antara perilaku yang sesuai dan menyimpang terhadap hukum, karena
keduanya adakah sesama obyek studi ilmu ini.
b. Sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris
dengan usaha mengetahui antara isi kaidah dan didalam kenyataannya, baik dengan
data empiris ataupun non empiris.
c. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap
hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum
sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu
lebih dari yang lain. Perhatian utamanya ada pada pembentukan penjelasan
terhadap obyek yang dipelajarinya. Pendekatan ini memang sering menimbulkan
salah paham, seolah-olah sosiologi ingin membenarkan praktek-praktek yang
menyimpang atau melanggar hukum. Pada hal tentunya adalah tidak demikian. Maka
penekanannya adalah bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian melainkan
mendekati hukum dari segi obyektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan
penilaian terhadap fenomena hukum yang nyata.[2]Sosiologi
hukum tidak menetapkan penilaian kepatutan.
Ciri-ciri khas diatas menurut satijipto Rahardjo dalam “Ilmu
Hukum”(1982), sekaligus merupakan kunci bagi orang ynag m=berminat untuk
melakukan penyelidikan dalam bidang sosiologi hukum. Dengan cara-cara
menyelidiki hukum yang demikian itu orang lansung berada ditengah-tengah
sosiologi hukum.
Demikia bahwa sosiologi hukum memiliki ciri-cir khas yang sedemikian rupa
sehingga ia mengemban tudas yang khas pula bagi amalan hukum dalam masyarakat,
terutama masyarakat yang sedang membangun dan hukum diharapkan peranannya
didalam proses pembangunan tersebut.[3]
2.
Antropologi
Hukum
Antropologi
Hukum adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari bagaimana hukum sebagai bagian
dari kebudayaan, bekerja dalam keseharian masyarakat. Dalam kajiannya,
berkerjanya hukum dijelaskan melalui hubungannya dengan unsur kebudayaan yang
lain, yaitu ekonomi, sosial, relasi kekuasaan, juga religi. Pendekatan yang
paling dominan dalam antropologi hukum adalah tentang pendekatan pluralisme
hukum yang lahir dari isu-isu adanya keberagaman hukum dalam masyarakat. Metode
dalam sosiologi dan antropologi, “ibu dari ilmu-ilmu sosial’, sangat dikembangkan
oleh para peneliti sosiolegal. Justru dengan pendekatan sosiologi atau
antropologi, maka substansi hukum dapat lebih dijelaskan secara lebih mendasar.
Pada saat ini beberapa pendekatan “terkini”, seperti analisis wacana (discourse
analysis), studi budaya (cultural studies), feminisme dan aliran
posmodernisme mendapat tempat dalam penelitian sosiolegal. Isu-isu yang dipelajari
juga sangat beragam, seperti proses pembuatan hukum, studi mengenai pengadilan
(courtroomstudies), penyelesaian sengketa di luar pengadilan, korupsi,
isu hukum lingkungan dan sumberdaya alam, isu hukum menyangkut perburuhan dan keadilan
gender, dan banyak lagi. Meskipun terdapat perbedaan karakteristik diantara
sosiologi hukum, sociological jurisprudence, antropologi hukum, maupun
studi sosiolegal, namun terdapat benang merah persamaan di antara semua school
of thoughttersebut, yang menempatkannya sebagai studi-studi hukum
alternatif.Persamaan tersebut adalah memposisikan hukum dalam konteks
kemasyarakatan yang luas, dengan berbagai implikasi metodologisnya. Di sini
ditekankan pentingnya mengkaji hukum dengan tidak menempatkannya sebagai bahan
terberi, yang terisolasi dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem pengetahuan)
dan relasi kekuasaan di antara para perumus hukum, penegakhukum, para pihak dan
masyarakat luas.
Antropologi hukum
menerima kehadiran hukum sebagai suatu yang sangat vital, seperti
mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat, mengatur produksi dan distribusi kekayaan
dan cara-cara untuk melindungi masyarakat dari gangguan, baik dari dalam maupun
dari luar.
Dengan
demikian, hukum diterima dari sudut pandang yang sangat luas, khususnyamengenai tempat dan peranannya dalam
masyarakat. Bagi ilmu hukum pada umumnya, pendekatan antropologi ini telah
menambahkan perspektif baru yang lebih luas yaitu apabila studi tentang hukum
itu hendak mencapai tingkat ketepatan yang tinggi, maka dituntut suatu penglihatan
yang menyeluruh terhadap masyarakat. Studi hukum tidak dapat membatasi diri hanya
kepada pengamatan terhadap bentuk-bentuk dan lembaga-lembaga yang ada pada
suatu waktu tertentu. Sistem hukum tidak muncul secara terisolasi dari
segi-segi lain kehidupan masyarakat, melainkan harus sistem-sistem hukum itu
merupakan bagian dari pola kultur suatu bangsa dan hukum terintegrasikan di
dalamnya.
b. hukum dalam perpektif antropologi
Studi-studi
antropologis tentang hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control)
di berbagai komunitas masyarakat di berbagai belahan dunia ini, yang dilakukan
oleh kalangan ahli antropologi, telah memberi kontribusi yang sangat
penting dan bermakna dalam pengembangan konsep dan pemahaman mengenai
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hukum dalam perspektif antropologi
dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan
karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang
dipengaruhi oleh aspek - aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi,
ideologi, religi, struktur sosial, dll[4]
(Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung
dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978)[5]. Karena
itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan
yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat
(customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan
dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian
sosial (legal order).[6]
3.
Psikologi
Hukum
a. Pengertian psikologi hukum
Psikologi Hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum sebagai salah satu perwujudan perkembangan jiwa manusia.
Psikologi hukum mempelajari perikelakuan atau sikap tindak hukum, yang mungkin
merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan yang tertentu dan juga
landasan kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tersebut.
Psikologi hukum ialah cabang studi hukum
yang masih muda, ia lahir karena kebutuhan dan tuntutan kehadiran psikologi di
dalam studi hukum, terutama kebutuhan di dalam praktik penegakan hukum,
termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang hukum, termasuk untuk
kepentingan pemeriksaan di muka persidangan. Walaupun demikian, perhatian
psikologi hukum masih belum memadai karena belum adanya kesepakatan yang mantap
mengenai ruang lingkupnya. Psikologi hukum di Indonesia masih di dalam taraf
mencari batasan ruang lingkup sebagai pembahasan materi yang diharapkan dapat
menjelaskan hubungan-hubungan hukum dengan faktor-faktor kejiwaan.
Yakni suatu
cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai sesuatu perwujudan dari
perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku
manusia, maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai
salah satu dari pencerminan perilaku manusia suatu kenyataan bahwa salah satu
yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah pengunaannya secara
sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Dengan
demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang yang mengarap tingkah
laku manusia. Bukanlah proses demikian itu menunjukan bahwa hukum telah memasuki
bidang psikologi. Terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana
mislnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti
tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan
lain sebagainya yang menunjukan hubungan antara hukum dan psikologi. Contoh
studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat leon
petrazic(1867-1931), ahli filsafat hukum menggarap unsur psikologis dalam hukum
dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon Petrazycki berangapan bahwa
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang
dapat dilihat dengan menggunakan metode instropeksi. Apabila kita mempersoalkan
tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai
dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam
peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus
berbuat sperti itu. Petra memandang hak-hak dan kewajiban sebagai hal yang
hanya dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial. Oleh karena ia
menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku
mereka yang merasa terkait olehnya. Beberapa sarjana hukum secara khusus dan
mendalam mempelajari psikologi hukum, sehingga mengembangkan ilmu ini.[7]
4.
Sejarah
Hukum
Adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan
asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan
antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. Sejarah hukum
ini berkaitan dengan bangkitnya suatu pemikiran dalam hukum yang dipelopori
oleh savigny (1779-1861). Dalam studi sejarah hukum ditekankan mengenai hukum
suatu bangsa merupakan suatu ekspresi jiwa yang bersangkutan dan oleh karenanya
senantiasa yang satu berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini terletak pada
karakteristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Apa
bila dikatakan bahwa hukum itu tumbuh, maka yang diartikan adalah hubungan yang
terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu. Apabila dapat
diterima bahwa hukum sekarang berasal dari yang sebelumnya atau hukum pada
masa-masa yang lampau, maka hal itu berarti, bahwa hukum yang sekarang dibentuk
oleh proses-proses yang berlangsung pada masa lampau, mengenali dan memahami secara
sistematis proses-poses terbentuknya hukum faktor-faktor yang menyebabkannya
dan sebagainya, memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami
fenomena hukum dalam masyarakat. Missi ini dilakukan oleh cabang studi hukum
yang dinamakan sejarah hukum.[8]
5.
Perbandingan
Hukum
Perbandingan
hukum adalah suatu metode studi hukum yang mempelajari perbedaan hukum antara
negara yang satu dengan negara yang lain. Atau membandingkan sistem hukum
positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Dilihat dari posisi yang
demikian itu, orang akan mengatakan bahwa studi perbandingan hukum adalah studi
tentang hukum asing. Namun mengumpulkan bahan-bahan perbandingan hukum. Barulah
pada saat orang menggarap bahan-bahan yang terkumpul itu menurut arah yang
tertentu, terjadi suatu studi perbandingan hukum. Rudolf D. Schlesinger dalam
bukunya comperative law (1959), mengemukakan bahwa perbandingan hukum,
merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang
lebih mendalam tentang bahan hukum tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa
perbandingan hukum bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum,
bukan suatu cabang hukum melainkan sutu cara menggarap unsur hukum asing aktual
dalam suatu masalah hukum. (Sudarti, 1981).[9]
Ilmu-Ilmu
Kenyataan tentang Hukum
Keterangan
Hukum sebagai
kenyataan, ia menghidupkan dalam pergaulan hidup manusia dan tercermin dalam
bentuk sikap tindak warga masyarakat.
6. Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan
tentang hakikat hukum. Dikemukakan dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan
mengikat dari hukum.
Filsafat hukum membicarakan tujuan atau akhir hukum
dan keadilan dianggap sebagai tujuan tertinggi. Jelas, karena keadlian mutlak
yang dituntut, maka usaha-usaha filsafat hukum telah, dulu maupun sekarang,
diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok bagi pencapaian
keadilan mutlak. Pertanyaan, apakah keadilan itu ?
Cita-cita keadilan telah diformulasikan oleh para
pemikir hukum dalam berbagai cara dan kita melihat banyak teori yang satu sama
lain berbeda, masing-masing mengklaim kebenaran mutlak.[10]
7. Politik hukum
Masyarakat yang teratur senantiasa memiliki tujuan
untuk mensejahterakan warganya sebagai misal, politik hakikatnya adalah sarana
untuk mencapai tujuan tersebut yang untuk itu dilalui proses pemilihan umum.
Oleh karenannya politik adalah aktivitas memilih tujuan tertentu. Dalam hukum
dijumpai keadaan yang sama. Hukum yang berusaha memilih tujuan dan cara
mencapai tujuan tersebut adalah termasuk bidang politik hukum.
Jelaslah bahwa politik hukum adalah disiplin hukum
yang mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan
yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu.[11]
[1] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.45
[2] Karena
sifat sosiologi mempelajari masyarakat bagaimana adanya secara obyektivitas
[3] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.51-54
[4]
Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional
tentang Penguasaan Tanah dan
Kekayaan
Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai
Jawaban”,
11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
[5]
Dosen Fakultas Hukum dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas
Brawijaya.
[6]Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.55
[7] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.58
[8]Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.59
[9] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.60
[10]
Muhammad Muslehuddin, Filsafat hukum islma dan pemikiran Orientalis,
(yogyakarta:Pt. Tiara wacana) 1997 Hlm.35
[11] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (jakarta:Pt Rajagrfindo Persada)2001
hlm.51-54
0 Komentar