UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang mulia mempunyai tugas utama yaitu melakukan ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaiankan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S al-Dzariat : 56). Ibadah merupakan manifestasi bukti keimanan kita kepada Allah SWT. Shalat merupakan kegiatan ubudiyah langsung antara makhluk dengan penciptanya. Shalat merupakan salah satu rukun islam setelah pengakuan dua kalimat syahadad. Kewajiban ini harus dilakukan oleh orang Islam sampai akhir hayatnya.
Dalam pelaksanaanya, beberapa ulama berpendapat sama dalam penafsiran hadits tentang penentuan waktu shalat yang dicontohkan oleh Rasulullah. Namun terdapat pula sebagian ulama yang berbeda pendapat tentang penafsiran untuk penentuan beberapa waktu shalat. Dalam makalah ini kami akan membahas waktu shalat Subuh menurut Mazhab Maliki dan Hanafi.
Rumusan Masalah
Bagaimana waktu shalat Subuh secara umum ?
Bagaimana waktu shalat Subuh menurut Mazhab Maliki dan Hanafi ?
BAB II
PEMBAHASAN
Waktu Shalat Subuh Secara Umum
Sebagian besar ulama bersepakat bahwa waktu shalat Subuh dimulai dari terbitnya fajar shadik yang muncul sesaat setelah fajar kizib sampai terbitnya matahari. Dengan demikian diketahui bahwa fajar ada dua macam, yaitu fajar shadik yang berhubungan dengan hukum syariat, yakni tanda mulainya berpuasa, awal waktu shalat Subuh, dan akhir waktu shalat Isya, dan fajar kizib yang tidak ada hubungan sama sekali dengan syariat. Fajar shadik dalam ilmu falak dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini muncul diufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada pada posisi sekitar 18° di bawah ufuk atau jarak zenith matahari 108°. Pendapat lain mengatakan bahwa terbitnya fajar shadik dimulai pada saat posisi matahari 20° di bawah ufuk atau jarak zenith matahari 110°, bahkan ada pendapat 15°.
Waktu Shalat Subuh Menurut Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, waktu shalat Subuh ada dua, pertama adalah ikhtar (memilih), yaitu dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang. Sedangkan yang kedua kedua adalah idhthiari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbit matahari. Inilah pendapat yang masyhur dan kuat, karena ada juga yang mengatakan bahwa Malikiyah tidak menetapkan waktu idhthiari untuk shalat Subuh. Namun pendapat pertama lebih kuat.
Disini kita mendapat kesimpulan bahwa menurut mazhab Maliki, waktu shalat Subuh adalah dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang, sampai terbit matahari hanya untuk orang-orang yang terpaksa melakukannya.
Waktu Shalat Subuh Menurut Mazhab Hanafi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sebagian besar ulama sepakat tentang waktu shalat Subuh, kecuali Malikiyah. Jadi, menurut mazhab Hanafi awal waktu shalat Subuh adalah jika munculnya fajar Shadik hingga terbitnya matahari.
Fajar Shadik
Secara terminologi, fajar Shadik adalah cahaya putih yang nampak dan meyebar di atas ufuk timur. Secara astronomik, ada tiga macam fajar, salah satunya adalah astronomical twilight, yang kalau waktu pagi dikenal dengan sebutan fajar Shadik sebagai pertanda awal waktu shalat Subuh. Astronomical twilight pada pagi hari (morning twilight)⸺secara astronomik⸺ sebenarnya simetris dengan astronomical twilight senja (evening twilight) menjelang malam, yakni ketika waktu shalat Isya yang ditandai dengan hilangnya mega merah (asy-syafaq al-ahmar) yang secara astronomik sudut ketinggian matahari sama dengan -18°. Oleh karena itu jika astronomical twilight sore menjelang malam -18°, maka astronomical twilight pada pagi hari juga -18°. Demikian juga dalam fiqh dikenal asy-syafaq al-ahmar (mega merah) dan asy syafaq al-abyad (mega putih) pada waktu sore menjelang malam. Sebenarnya untuk mega putih pada sore hari sama dengan fajar kizib (zodiacal twilight) pada pagi hari, dan waktu hilangnya mega merah pada sore hari sama dengan waktu terbitnya fajar shadik pada pagi hari.
Sebaimana yang telah disinggung di atas bahwa antara astronomical twilight pagi (fajar Shadik) dan astronomical twilight senja (hilangnya mega merah) secara astronomik harus simetris. Namun yang terjadi di Indonesia pada umumnya, terutama oleh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, menggambarkan bahwa dua astronomical twilight itu tidak simetris. Hal itu ditunjukkan oleh konversi angka tinggi matahari (h˳) untuk shalat Isya adalah -18°, sedangkan untuk awal shalat Subuh adalah 20°, sementara selisih 2° sama dengan waktu ±8-10 menit. Mengapa bisa terjadi demikian ? secara Sains, hal itu disebabkan karena pada waktu sore hari menjelang malam terjadi penguapan di siang hari sampai sore sehingga pembelokan cahaya lebih rendah, sedangkan pada waktu pagi hari kondisinya lebih cerah karena baru saja terjadi pendinginan. Sedangkan menurut Muhyiddin Khazim, hal itu disebabkan karena cahaya fajar lebih kuat daripada cahaya senja, sehingga posisi tinggi matahari untuk Subuh lebih besar dari pada Isya.
Dari penjelasan di atas, kami menyimpulkan bahwa belum benyak data yang menjelaskan perbedaan diantara dua angka tersebut. Karena keduanya dipakai oleh banyak pihak, maka tidak dapat kita menyalahkan salah satunya, sebagai contoh, -20° dipakai oleh Kalender Egyptian General Authority of Survey Mesir (Dinas Geologi Mesir), Kalender Kementrian Agama RI, NU, Muhammadiyah, dll, sedangkan yang memakai angka -18° dipakai oleh Jakarta Islamic Center, Pemerintah Kota Tasikmalaya, Pekanbaru Islamic Center, PP Tebuireng Jombang, PP Hidayatullah Surabaya, dll.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagian besar ulama bersepakat, waktu shalat Subuh dimulai saat munculnya fajar Shadik dan berakhir saat matahari terbit. Hal yang berbeda hanya disampaikan oleh Malikiyah, waktu shalat Subuh ada dua, pertama adalah ikhtar (memilih), yaitu dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang. Sedangkan yang kedua kedua adalah idhthiari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbit matahari.
Fajar Shadik adalah cahaya putih yang nampak dan meyebar di atas ufuk timur. Secara astronomik, ada tiga macam fajar, salah satunya adalah astronomical twilight, yang kalau waktu pagi dikenal dengan sebutan fajar Shadik sebagai pertanda awal waktu shalat Subuh.
Saran
Dalam makalah ini kami tidak menemukan banyak data mengapa terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi matahari untuk shalat Subuh, yaitu -18° dan -20°. Sehingga kami belum bisa menyatakan secara Sains mana yang paling benar diantara keduanya. Untuk itu, perlu kajian yang lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin. 2012. Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat. Ad-Daulah. Vol.1 No.1. Desember.
Khoiri, Ahmad. Penentuan Awal Waktu Shalat Fardhu Dengan Peredaran Matahari. SPEKTRA-Jurnal Kajian Pendidikan Fisika.
Amri, Tamhid. 2014. Waktu Shalat Perspektif Syar’i. Asy-Syariah. Vol. 16 No.3. Desember.
Mughits, Abdul. 2014. Probematika Jadwal Waktu Salat Subuh di Indonesia. Asy-Syir’ah. Vol. 48 No.2. Desember.
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang mulia mempunyai tugas utama yaitu melakukan ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaiankan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S al-Dzariat : 56). Ibadah merupakan manifestasi bukti keimanan kita kepada Allah SWT. Shalat merupakan kegiatan ubudiyah langsung antara makhluk dengan penciptanya. Shalat merupakan salah satu rukun islam setelah pengakuan dua kalimat syahadad. Kewajiban ini harus dilakukan oleh orang Islam sampai akhir hayatnya.
Dalam pelaksanaanya, beberapa ulama berpendapat sama dalam penafsiran hadits tentang penentuan waktu shalat yang dicontohkan oleh Rasulullah. Namun terdapat pula sebagian ulama yang berbeda pendapat tentang penafsiran untuk penentuan beberapa waktu shalat. Dalam makalah ini kami akan membahas waktu shalat Subuh menurut Mazhab Maliki dan Hanafi.
Rumusan Masalah
Bagaimana waktu shalat Subuh secara umum ?
Bagaimana waktu shalat Subuh menurut Mazhab Maliki dan Hanafi ?
BAB II
PEMBAHASAN
Waktu Shalat Subuh Secara Umum
Sebagian besar ulama bersepakat bahwa waktu shalat Subuh dimulai dari terbitnya fajar shadik yang muncul sesaat setelah fajar kizib sampai terbitnya matahari. Dengan demikian diketahui bahwa fajar ada dua macam, yaitu fajar shadik yang berhubungan dengan hukum syariat, yakni tanda mulainya berpuasa, awal waktu shalat Subuh, dan akhir waktu shalat Isya, dan fajar kizib yang tidak ada hubungan sama sekali dengan syariat. Fajar shadik dalam ilmu falak dipahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), cahaya ini muncul diufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada pada posisi sekitar 18° di bawah ufuk atau jarak zenith matahari 108°. Pendapat lain mengatakan bahwa terbitnya fajar shadik dimulai pada saat posisi matahari 20° di bawah ufuk atau jarak zenith matahari 110°, bahkan ada pendapat 15°.
Waktu Shalat Subuh Menurut Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki, waktu shalat Subuh ada dua, pertama adalah ikhtar (memilih), yaitu dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang. Sedangkan yang kedua kedua adalah idhthiari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbit matahari. Inilah pendapat yang masyhur dan kuat, karena ada juga yang mengatakan bahwa Malikiyah tidak menetapkan waktu idhthiari untuk shalat Subuh. Namun pendapat pertama lebih kuat.
Disini kita mendapat kesimpulan bahwa menurut mazhab Maliki, waktu shalat Subuh adalah dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang, sampai terbit matahari hanya untuk orang-orang yang terpaksa melakukannya.
Waktu Shalat Subuh Menurut Mazhab Hanafi
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sebagian besar ulama sepakat tentang waktu shalat Subuh, kecuali Malikiyah. Jadi, menurut mazhab Hanafi awal waktu shalat Subuh adalah jika munculnya fajar Shadik hingga terbitnya matahari.
Fajar Shadik
Secara terminologi, fajar Shadik adalah cahaya putih yang nampak dan meyebar di atas ufuk timur. Secara astronomik, ada tiga macam fajar, salah satunya adalah astronomical twilight, yang kalau waktu pagi dikenal dengan sebutan fajar Shadik sebagai pertanda awal waktu shalat Subuh. Astronomical twilight pada pagi hari (morning twilight)⸺secara astronomik⸺ sebenarnya simetris dengan astronomical twilight senja (evening twilight) menjelang malam, yakni ketika waktu shalat Isya yang ditandai dengan hilangnya mega merah (asy-syafaq al-ahmar) yang secara astronomik sudut ketinggian matahari sama dengan -18°. Oleh karena itu jika astronomical twilight sore menjelang malam -18°, maka astronomical twilight pada pagi hari juga -18°. Demikian juga dalam fiqh dikenal asy-syafaq al-ahmar (mega merah) dan asy syafaq al-abyad (mega putih) pada waktu sore menjelang malam. Sebenarnya untuk mega putih pada sore hari sama dengan fajar kizib (zodiacal twilight) pada pagi hari, dan waktu hilangnya mega merah pada sore hari sama dengan waktu terbitnya fajar shadik pada pagi hari.
Sebaimana yang telah disinggung di atas bahwa antara astronomical twilight pagi (fajar Shadik) dan astronomical twilight senja (hilangnya mega merah) secara astronomik harus simetris. Namun yang terjadi di Indonesia pada umumnya, terutama oleh Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, menggambarkan bahwa dua astronomical twilight itu tidak simetris. Hal itu ditunjukkan oleh konversi angka tinggi matahari (h˳) untuk shalat Isya adalah -18°, sedangkan untuk awal shalat Subuh adalah 20°, sementara selisih 2° sama dengan waktu ±8-10 menit. Mengapa bisa terjadi demikian ? secara Sains, hal itu disebabkan karena pada waktu sore hari menjelang malam terjadi penguapan di siang hari sampai sore sehingga pembelokan cahaya lebih rendah, sedangkan pada waktu pagi hari kondisinya lebih cerah karena baru saja terjadi pendinginan. Sedangkan menurut Muhyiddin Khazim, hal itu disebabkan karena cahaya fajar lebih kuat daripada cahaya senja, sehingga posisi tinggi matahari untuk Subuh lebih besar dari pada Isya.
Dari penjelasan di atas, kami menyimpulkan bahwa belum benyak data yang menjelaskan perbedaan diantara dua angka tersebut. Karena keduanya dipakai oleh banyak pihak, maka tidak dapat kita menyalahkan salah satunya, sebagai contoh, -20° dipakai oleh Kalender Egyptian General Authority of Survey Mesir (Dinas Geologi Mesir), Kalender Kementrian Agama RI, NU, Muhammadiyah, dll, sedangkan yang memakai angka -18° dipakai oleh Jakarta Islamic Center, Pemerintah Kota Tasikmalaya, Pekanbaru Islamic Center, PP Tebuireng Jombang, PP Hidayatullah Surabaya, dll.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagian besar ulama bersepakat, waktu shalat Subuh dimulai saat munculnya fajar Shadik dan berakhir saat matahari terbit. Hal yang berbeda hanya disampaikan oleh Malikiyah, waktu shalat Subuh ada dua, pertama adalah ikhtar (memilih), yaitu dari terbit fajar sampai terlihat wajah orang yang kita pandang. Sedangkan yang kedua kedua adalah idhthiari (terpaksa), yaitu dari terlihatnya wajah tersebut sampai terbit matahari.
Fajar Shadik adalah cahaya putih yang nampak dan meyebar di atas ufuk timur. Secara astronomik, ada tiga macam fajar, salah satunya adalah astronomical twilight, yang kalau waktu pagi dikenal dengan sebutan fajar Shadik sebagai pertanda awal waktu shalat Subuh.
Saran
Dalam makalah ini kami tidak menemukan banyak data mengapa terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi matahari untuk shalat Subuh, yaitu -18° dan -20°. Sehingga kami belum bisa menyatakan secara Sains mana yang paling benar diantara keduanya. Untuk itu, perlu kajian yang lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin. 2012. Perspektif Syar’i dan Sains Awal Waktu Shalat. Ad-Daulah. Vol.1 No.1. Desember.
Khoiri, Ahmad. Penentuan Awal Waktu Shalat Fardhu Dengan Peredaran Matahari. SPEKTRA-Jurnal Kajian Pendidikan Fisika.
Amri, Tamhid. 2014. Waktu Shalat Perspektif Syar’i. Asy-Syariah. Vol. 16 No.3. Desember.
Mughits, Abdul. 2014. Probematika Jadwal Waktu Salat Subuh di Indonesia. Asy-Syir’ah. Vol. 48 No.2. Desember.
0 Komentar