A. Sistem Ketatanegaraan di Era Abbasiyah
1)
Bentuk Negara
Bentuk negara pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Monarki Absolut. Di mana pemimpin
dipilih secara turun-temurun berdasarkan keturunan, dan mempunyai kekuasaan
yang tidak terbatas. Namun, sistem monarki absolut yang mewarnai kekuasaan
Dinasti Abbasiyah sejatinya berbeda dengan sistem monarki yang pernah di
praktekkan pada era Umayyah. Pada masa Abbasiyah, pengangkatan seorang khalifah
tidak harus diawali dengan bai’at dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi
kekuasaan, sedangkan pada masa Umayyah, bai’at adalah sebuah keharusan.[1]
2)
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Abbasiyyah bersifat sentralisasi.
Dalam keadaan darurat, sering khalifah menyerahkan pemerintahan kepada panglima
besar angkatan perang, dan diberi gelar ‘Amiru al-Umara’.
Sistem pemerintahan
yang dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah
merupakan pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya, Dinasti Abbasiyah mengembangkan sistem pemerintahan
dengan mengacu pada empat aspek, yaitu :
a.
Aspek Khilafah
Berbeda dengan
pemerintahan Dinasti Umayyah sebelumnya, Dinasti Abbasiyah menyatukan kekuasaan agama dan
politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan
politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka
terhadap rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat
pertama kali dalam pernyataan al-Manshur bahwa dirinya adalah wakil Allah SWT
di bumi-Nya (Zhill Allah fi al-Ardh). Pernyataan ini telah menggeser
pengertian khalifah sebelumnya dalam Islam. Sementara pada masa Dinasti
Umayyah, kekuasaan mereka lebih berpusat pada urusan politik.
Pernyataan
al-Manshur di atas menunjukkan bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat
Tuhan, bukan pilihan rakyat. Oleh karenanya, kekuasaanya adalah suci dan mutlak
serta harus dipatuhi oleh umat. Para khalifah Dinasti Abbasiyah akhirnya mengklaim diri mereka
sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi (the Shadow of God on the Earth)
dan Khalifah Tuhan, bukan Khalifah Nabi. Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan
khalifah bersifat absolut dan tidak boleh digantikan kecuali setelah ia
meninggal.
b.
Aspek Wizȃrah
Wizȃrah adalah salah satu
aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Orang yang
membantu dalam pelaksanaan tugas kenegaraan tersebut dinamakan wazȋr.
Sebelum masa Dinasti Abbasiyah, wizȃrah
memang telah ada, tapi belum terlembaga. Sedangkan pada zaman dinasti Umayyah wazȋr hanya
berfungsi sebagai penasehat.
Pada Dinasti Abbasiyah, di bawah pengaruh kebudayaan
Persia, wazȋr ini mulai dilembagakan. Wazȋr ( perdana menteri) ini
bertugas sebagai tangan kanan khalifah. Dia menjalankan urusan kenegaraan atas
nama khalifah. Dia berhak mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala
daerah bahkan hakim. Wazȋr juga berperan mengoordinasi
departemen-departemen (Diwan), seperti Departemen Perpajakan (Diwan
al-Kharaj), Departemen Pertahanan (Diwan al-Jaisy), dan Departemen
Keuangan (Diwan Bayt al-Mal).
Berdasarkan hal ini,
al-Mawardi ahli tata negara pada masa Dinasti Abbasiyah, membagi wazȋr menjadi dua bentuk.
Pertama, wazȋr al-tafwidh, yaitu wazȋr yang memiliki kekuasaan luas
memutuskan berbagai kebijaksanaan kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator
kepala-kepala departemen. Karena besarnya kekuasaan wazȋr tafwid ini,
maka orang yang menduduki jabatan ini merupakan orang-orang kepercayaan
khalifah. Kedua, wazȋr al-tanfidz, yaitu wazȋr yang hanya bertugas
sebagai pelaksana kebijaksanaan yang digariskan oleh wazȋr tafwidh. Ia tidak
berwenangan menentukan kebijaksanaan sendiri.
Dalam masa
pemerintahan al-Mu’tashim, ketika khalifah tidak begitu berkuasa lagi, wazȋr-wazȋr
berubah fungsi menjadi tentara pengawal. Mereka terdiri dari orang-orang Turki.
Begitu kuatnya kekuasaan mereka di pemerintahan, sehingga khalifah hanya
menjadi boneka. Mereka dapat mengangkat dan menjatuhkan khalifah sekehendak
hatinya. Panglima tentara pengawal yang bergelar Amur al-Umara atau
Sultan inilah pada dasarnya yang berkuasa di ibu kota pemerintahan. Khalifah-khalifah
tunduk pada kemauan mereka dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun yang menarik,
panglima tersebut tidak berani mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan
dari keluarga Abbasiyah, meskipun khalifah sudah lemah tidak berdaya. Padahal kesempatan
dan kemampuan untuk itu mereka miliki.
c.
Aspek Kitabah
Besanya pengaruh wazȋr
dalam pemerintahan membutuhkan tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya
dalam mengoordinasi masing-maisng departemen untuk itu, wazȋr pun mngangkat
para katib untuk menempati pos-posnya. Di antara jabatan katib ini adalah katib
Al-Rasa’il, katib Al kharaj, katib Al jund, katib Al-surthah, dan katib
Al-Qadhi. Sesuai dengan namanya para katib (kuttab) bertugas dalam bidang
masing-masing.
Tampaknya ada
perbedaan tugas antara kepala dewan dan katib, kepala dewan (Wazȋr Tanfiz) bertugas
mengurus departemen yang mereka pimpin dan menjalankanya sesuai dengan petunjuk
khaifah atau wazȋr Tafwidh. Adapun katib bertuga mengawasi administrasi
departemen. Ia bertugas dalam bidang kesekretariatan pada masing-masing
departemen.
d.
Aspek hijabah
Hijabah berarti
pembatas/penghalang. Dalam sistem politik dinasti Abbasiyah, Hajib (petugas hijab) berarti
pengawal khalifah, kerena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan
membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan khalifah Dinasti Abbasiyah. Mereka bertugas menjaga keselamatan
dan keamanan khalifah, yang pada masa khulafaur rasyidin ini tidak ada. Setelah
terjadi pembunuhan terhadap khalifah Ali, Muawiyah bersikap lebih hati-hati. Ia
memutuskan tidak sembarang orang bisa bertemu dengan khalifah. Pada masa Dinasti
Abbasiyah protokoler ini lebih
diperketat. Orang tidak diperkenankan masuk istana dan bertemu dengan khalifah,
kecuali untuk hal-hal yang sangat penting. Bila ada tamu yang datang, hajib
terlebih dahulu menanyakan maksud dan tujuanya. Setelah itu, barulah hajib
memutuskan boleh tidaknya ia bertemu dengan khalifah.
Jadi dapat dipahami bahwa hajib ini kurang lebih
sama dengan pengawal pengamanan presiden (Paspampres)
pada masa sekarang.
3) Administrasi
Selain empat aspek tersebut di atas, untuk urusan daerah
(provinsi), khalifah Dinasti Abbasiyah
mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka. Ketika mereka
masih kuat, sistem pemerintah ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah
bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh wazir.
Pada masa al-Saffah daerah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah dibagi menjadi dua belas
provinsi. Pemerintah daerah (amir) dibagi tiga keamiran, yaitu
·
Imarah istikfa,
bertugas antara lain mengatur dan menggaji tentara daerah, memungut pajak,
menjadi imam, dan menegakkan pelaksanaan hukum. Mereka adalah pejabat eksekutif
daerah (gubernur).
·
Imarah istila,
bertugas dalam masalah ketertiban umum, yaitu semacam kepala kepolisian daerah
(polda). Mereka bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban daerah.
·
Imarah khashshah, bertugas
mengangani masalah ketentaraan. Dengan kata lain, jabatan ini
kira-kira
sama dengan jabatan panglima daerah militer
(Pangdam).
Namun setelah
kekuasaan pusat lemah, masing-masing amir berkuasa penuh mengatur
pemerintahannya sendiri. Hingga pada akhirnya banyak daerah yang melepaskan
diri dari kekuasaan pusat.
4)
Biro-biro Pemerintahan Abbasiyah
Pada masa
Dinasti Abbasiyah biro-biro pemerintahan
talah mengalami kemajuan dan perbaikan serta penyempurnaan daripada masa
sebelumnya. Untuk menjalankan sistem pemerintahannya Dinasti Abbasiyah
membentuk biro-biro pemerintahan baru, yaitu :
Ø
Amirul Umara (pangliam besar yang
diserahkan pimpinan nagara).
Ø
Dewan Az-Zamani (dewan pengawas).
Ø
Dewan Taqwi (dewan yang
menangani surat rasmi, dokumen politik, serta instruksi ketetapan khalifah).
Ø
Dewan al-akhas wasy
syurthah (dewan kepolisian).
Ø
Dewan al-Barid (badan pos negara).
Ø
Qiwan Qadhi Qudha (dewan kehakiman).
5) Sistem Militer
Dinasti Abbasiyah juga
membentuk lembaga peradilan militer (Qadhi al-’Askar atau Qadhi al-Jund). Sistem militer terorganisasi
dengan baik, berdisiplin tinggi, serta pelatihan dan pengajaran secara regular.
Angkatan perang berada di bawah Dewan al-Jund, pasukan pengawas khalifah
adalah satu-satunya pasukan yang tetap mengepalai sekelompok pasukan. Ada juga
pasukan bayaran atau sukarelawan.
Pasukan tetap bertugas aktif disebut murtaziqah dan pasukan
sukarelawan disebut mutathawwi’ah.
6)
Ekonomi
Dalam perekonomian,
sumber pendapatan terbesar negara berasal dari pajak. Penghasilan dari pajak
tersebut, selain untuk kepentingan masyarakat luas, dibelanjakan untuk membayar
gaji pegawai tiap-tiap departemen.
Selain pajak, sumber
devisa negara adalah dari pertanian, perdagang dan industri. Dalam bidang
perindustrian pemerintah menggunakan sumber kekayaan negara dari hasil tambang
untuk pembangunan indutri. Beberapa kota sebagai pusat industri :
·
Basrah kota penghasil sabun dan
gelas
·
Kauffah terkenal sebagai
penghasil sutra
·
Damaskus kota penghasil kemeja
sutra
Segala upaya dilakukan
oleh Dinasti Abbasiyah untuk memajukan perdagangan, umpamanya :
o
Dibangun sumur-sumur dan
tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati oleh khafilah dagang.
o
Dibangun armada-armada dagang.
o
Dibangun armada-armada untuk
melindungi pantai-pantai negara dari serangan bajak laut.[2]
Untuk menghindari terjadinya kolusi dan penyelewengan
dalam sektor perdagangan, Khalifah Harun membentuk satu badan khusus yang
bertugas mengawasi pasaran dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga
pasaran, atau dengan kata lain mengatur politik harga.[3]
Dalam bidang
pertanian, perkembangannya maju pesat pada awal pemerintahan, karena pusat
pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur. Pertanian merupakan sumber
utama pemasukan negara dan pengelolaan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk
asli, dalam usaha memajukan pertanian pemerintah Abbasiyah melakukan usaha :
·
Memperluas saerah-daerah
pertanian disegenap wilayah negara.
·
Membangun bendungan-bendungan
dan menggali kanal-kanal lama, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak memiliki
irirgasi.[4]
7) Hukum
Seperti halnya masa Dinasti Umayyah, kekuasaan
yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah) dibagi kepada bidang hisbah,
al-qadha’ dan al-mazhalim. Tugas
dan kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan pada masa sebelumnya. Namun
selain tiga bidang tersebut, Khalifah sendiri juga menyediakan waktu-waktu
tertentu di istana untuk mengangani perkara-perkara khusus.[5]
Berdasarkan pola
pemerintahan dan perubahan politik para sejarawan membagi kekuasaan masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi empat periode, yaitu :
a) Periode Abbasiyah
I (132-232- H/750-847 M)
Periode pertama
berlangsung selama 97 tahun dan dipimpin oleh 9 orang khalifah. Periode ini
disebut dengan periode keemasan Dinasti
Abbasiyah. Bahkan dapat dikatakan sebagai periode keemasan islam di
dunia.
b) Periode Abbasiyah
II (232-334 H/847-946 M)
Periode ini
berlangsung selama 90 tahun, dipimpin 113 khallifah. Periode ini dikatakan
sebagai awal kelemahan Dinasti
Abbasiyah. Banyak daerah kecil yang berusaha melepaskan diri dan tidak
mampu diatasi.
c) Periode Abbasiyah III
Pada periode ini,
Dinasti Abbasiyah berada di bawah
kekuasaan Dinasti Bawaihi, yaitu para penganut aliran syi’ah yang berhasil
mendirikan dinasti di sebelah barat laut Iran ketika mereka bertambah besar,
rakyat sepenuhnya dikuasai oleh mereka.
d) Perode Abbasiyah
IV (487-656 H/1094-1258 M)
Periode ini
berlangsung selama 164 tahunn. Jika pada periode sebelumnya kekuasaan Abbasiyah berada di bawah kendali Dinasti
Buwaihi, maka periode ini berada pada kekuasaan kaum Saljuk dari Turki. Saljuk
adalah nama keluarga penguasa suku-suku Oghuz di Turni. Namun Saljuk adalah
nama suku yang diambil sebagai penghormatan nenek moyang mereka Saljuk bin
Yakak.
B. Sistem Politik Dinasti
Abbasiyah
Pada masa pemerintahan Abbasiyyah I ini,
kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1)
Memindahkan ibu kota Negara
Langkah awal yang diambil adalah memindahkan ibu kota
negara dari Damaskus dipindahkan ke
Baghdad. Alasan pemindahannya untuk menghindari situasi yang tidak menentu baik di Damaskus
maupun di Kufah. Dengan dipindahkannya ibu kota negara ini, diasumsikan roda
pemerintahan akan berjalan dengan lancar dan cepat maju, di samping secara
geografis letaknya amat strategis, karena Baghdad yang bekas wilayah kekuasaan
Persia waktu itu sudah menjadi basisnya pemimpin-pemimpin besar, sarjana, dan
filosof-filosof besar, semanjak terjadinya kontak dengan Mesir dan Romawi.
2) Memusnahkan
keturunan Bani Umayyah
Tindakan politik ini diambil untuk menjaga kemungkinan
timbul lagi gerakan pemberontakan dari keluarga Umayyah.
3) Merangkul orang-orang Persia
Dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi
peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum Mawali, keturunan Persia dalam berbagai bidang pemerintahan.
4) Menghapus politik kasta
Ciri-ciri yang menonjol dari revolusi Abbasiyah
ialah munculnya negara Islam yang berbeda dengan Daulah Umayyah, yang di
dalamnya semua unsur penduduk memperoleh hak yang sama dalam kekuasaan. Perlakuan demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan
manusia, benar-benar mendapat perhatian yang serius. Pengetrapan politik
persamaan ras ini, mendorong Abbasiyyah membangun suatu struktur yang
berlangsung tanpa persaingan selama lebih dari lima abad. Philip K. Hitti
mengatakan, bahwa pemerintahan yang dibangun oleh Abbasiyah lebih bersifat internasional
dan menjadi wilayah neomuslim di mana bangsa Arab menjadi satu bagian dari
ras-ras yang ada.
5) Kebijakan luar negeri
Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Abbasiyah
menjalin hubungan yang erat dengan Kaisar Charlemagne (Charles) yang berkuasa
di Barat. Abad kesembilan ditandai dengan adanya dua raja adikuasa, yaitu
Charles di Barat dan Harun di Timur. Kedua raja besar itu menjalin hubungan
diplomasi luar negerinya yang didorong oleh kepentingan masing-masing. Charles
berharap pada Harun untuk menghadapi Bizantium, yang juga bermusuhan dengan
Harun. Sementara Harun menginginkan persahabatan dengan Charles untuk
menghadapi saingan dan musuhnya yang sangat berbahaya, yaitu Dinasti Umayyah di
Spanyol yang juga menjadi seteru Charles. Persahabatan saling menguntungkan ini
berwujud sampai pada tingkat pertukaran data besar dan saling memberi hadiah.
Sebagai realisassi dari kebijakan politik luar negeri ini, pada masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M) dibuka kembali ekspansi
ke Bizantium dengan sebuah misi “perang suci” (Holy War).[6]
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah
yang diambil dalam program politiknya adalah:
Ø politik yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah I:
·
para khalifah tetap dari
turunan Arab murni, sementara para
menteri, gubernur, panglima, dan pegawai lainnya, banyak diangkat dari golongan
Mawali dan Persia.
·
Kota Baghdad sebagai ibukota
Negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial, dan kebudayaan.
·
Ilmu pengetahuan dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia.
·
Kebebasan berpikir sebagai hak
asasi manusia diakui sepenuhnya.
·
Para menteri turunan Persia
diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peran penting
dalam membina tamadun islam.
Ø Politik yang dijalankan oleh Dinasti Dinasti Abbasiyah
II, III, dan IV:
o
3) Merangkul orang-orang Persia
Dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi
peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum Mawali, keturunan Persia dalam berbagai bidang pemerintahan.
4) Menghapus politik kasta
Ciri-ciri yang menonjol dari revolusi Abbasiyah
ialah munculnya negara Islam yang berbeda dengan Daulah Umayyah, yang di
dalamnya semua unsur penduduk memperoleh hak yang sama dalam kekuasaan. Perlakuan demokrasi tentang persamaan dan persaudaraan
manusia, benar-benar mendapat perhatian yang serius. Pengetrapan politik
persamaan ras ini, mendorong Abbasiyyah membangun suatu struktur yang
berlangsung tanpa persaingan selama lebih dari lima abad. Philip K. Hitti
mengatakan, bahwa pemerintahan yang dibangun oleh Abbasiyah lebih bersifat internasional
dan menjadi wilayah neomuslim di mana bangsa Arab menjadi satu bagian dari
ras-ras yang ada.
5) Kebijakan luar negeri
Dalam melaksanakan politik luar negerinya, Abbasiyah
menjalin hubungan yang erat dengan Kaisar Charlemagne (Charles) yang berkuasa
di Barat. Abad kesembilan ditandai dengan adanya dua raja adikuasa, yaitu
Charles di Barat dan Harun di Timur. Kedua raja besar itu menjalin hubungan
diplomasi luar negerinya yang didorong oleh kepentingan masing-masing. Charles
berharap pada Harun untuk menghadapi Bizantium, yang juga bermusuhan dengan
Harun. Sementara Harun menginginkan persahabatan dengan Charles untuk
menghadapi saingan dan musuhnya yang sangat berbahaya, yaitu Dinasti Umayyah di
Spanyol yang juga menjadi seteru Charles. Persahabatan saling menguntungkan ini
berwujud sampai pada tingkat pertukaran data besar dan saling memberi hadiah.
Sebagai realisassi dari kebijakan politik luar negeri ini, pada masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M) dibuka kembali ekspansi
ke Bizantium dengan sebuah misi “perang suci” (Holy War).[6]
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah
yang diambil dalam program politiknya adalah:
Ø politik yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah I:
·
para khalifah tetap dari
turunan Arab murni, sementara para
menteri, gubernur, panglima, dan pegawai lainnya, banyak diangkat dari golongan
Mawali dan Persia.
·
Kota Baghdad sebagai ibukota
Negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial, dan kebudayaan.
·
Ilmu pengetahuan dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia.
·
Kebebasan berpikir sebagai hak
asasi manusia diakui sepenuhnya.
·
Para menteri turunan Persia
diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peran penting
dalam membina tamadun islam.
Ø Politik yang dijalankan oleh Dinasti Dinasti Abbasiyah
II, III, dan IV:
o Pada periode
kekuasaan tiga masa ini kekuasaan politik mulai menurun –terutama pada politik
sentral, karena negara-negara/kerajan-kerajaan kecil sudah tidak menghiraukan
pemerintah pusat kecuali pengakuan secara politis saja. Serta menurunnya
kekuatan militer pusat.
o Munculnya
kerajaan-kerajaan kecil yang memutus ikatan politik antara wilayah-wilayah
islam, seperti di Andalusia, Afrika Utara, Mesiar, Yaman, dan wilayah lainnya.
o Kota Baghdad bukan
satu-satunya kota internasional dan terbesar, sebab masing-masing kerajaan
berlomba-lomba untuk mendirikan kota yang menyaingi Baghdad.
o Para khalifah
berlomba-lomba memajukan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan lebih tinggi
martabatnya dibandingkan abad sebelumnya.
Dari keempat periode ini, Dinasti Abbasiyah melahirkan 37 orang khalifah. Banyak
kemajuan yang telah diraih oleh dinasti ini diberbagai bidang peradaban, ilmu
pengetahuan, militer ekonomi, sosial, dan sebgainya.
[1] Muhammad Khoirul Malik, “Potret Kekhalifahan Islam: Dinamika
Kepemimpinan Islam Pasca al-Khulafâ al-Râsyidûn hingga Turki Utsmani”,
Tsaqafah (Vol. 13, No. 1, Mei 2017), hlm. 141.
[3] Naila Farah, “Perkembangan Ekonomi dan Administrasi pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah”, Al-Amwal (Vol. 6, No. 2, 2014),
hlm. 45.
[5] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.(Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), hlm. 98-104.
0 Komentar