Pengertian Harta Dalam Fiqh Muamalah

Recent Posts

Pengertian Harta Dalam Fiqh Muamalah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting. Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta, manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia).
Di dalam Islam, perhatian terhadap harta diberikan secara lebih dan dalam. Hal ini dibuktikan dengan banyak disebutkannya harta di dalam Al Quran. Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Harta?
2.      Bagaimana penjelasan unsur unsur kebendaan
3.      Bagaimana kedudukan harta dalam pandangan Islam?
4.      Bagaimana pengklasifikasikan harta atau benda berdasarkan hukum Islam? 
C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui penjelasan tentang harta.
2.      Mengetahui penjelasan unsur unsur kebendaan
3.      Mengetahui kedudukan harta dalam pandangan Islam.
4.      Mengetahui mengenai pengklasifikasikan harta atau benda berdasarkan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Harta
Harta dalam kitab fiqih disebut mall, menurut bahasa segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupann, maksudnya yaitu segala sesuatu yang menyertai baik berupa benda maupun manfaat [1] مايقتفي من كل شئ سؤا اكان عينااو منفعة   artinya yaitu segala sesuatu yang menyertai baik berupa benda atau manfaat adalah mal. Adapun mal menurut istilah sesuatu yang diambil manfaatnya dan dipelihara secara umum, ما يكون حيازته واحتراوهةالاءنتفاعهفىاالعادة artinya sesuatu yang dikumpulkan atau di pelihara dan juga disimpan serta diambil manfaatmya menurut kebiasaan.
Adapun benda menurut beberapa ahli:
1.         Menurut golongan hanafiah. Mereka membetri batasn dengan kemungkinan dapat disimpan (iddikhar) untuk pengecualian manfaat karena manfaat tidak termasuk benda melainkan  termasuk hak milik.
2.         Para fuqoha, berpendapat bahwa pengertian benda ditambah dengan serta dapat diserahkan (levering) dan dapat dihalangi seorang mempergunakan atau menikmatinya.
3.         Menurut para ulama, poengertian diatas kurang tepat karena ada hal yang secara naluri tidak cenderung mencintainya, seperti racun, obat-pbatan dan sebagainya. Dan ada juga yang tidak bias disimpan lama seperti sayur, buah-buahan, dan sebagainya.
4.         Dr. Muhammad Mustofa Syalabi berpendapat bahwa benda sesuatu yang mungkin dapat dikuasai dan atau dapat disimpen serta diambil manfaatnya menurut kebiasaan.
5.         Dr. Mustofa ahmad Zarqa berpendapat segala wujud materi yang mempunyai nilai dan beredar dikalangan manusia.[2]
Jadi benda adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan manfaat serta beredar dikalangan manusia yang digunakan dalam waktu biasa.

B.     Unsur-Unsur Kebendaan
Adapan unsur-unsur penentu sesuatu dikatakan sebuah benda yaitu;
1.      Kemungkinan dapat dikuasai dan atau dapat disimpan
2.      Dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan
Adapun menurut salman madkur unsur-unsur benda ada tiga yaitu;
1.      Dapat dimilik
2.      Dapat diambil manfaatnya
3.      Pemanfaatanya diobolehkan ole Syara’ dalam keadaan bias maupun terpaksa.[3]

C.    Kedudukan Harta Dalam Islam
Islam menetapkan segala sesuatu yang ada di langit atau yang terhampar di bumi adalah anugrah dari Allah SWT yang diperuntukan untuk manusia untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya harta adalah mlik allah SwT yang diberikan kepada manusia sebagai amanat untuk dibelanjakan dengan mengunakan aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh allah , sehingga manusia dalam pemanfaatan atas benda di batasi oleh aturan-aturan allah melalui hukum-Nya. Karena allahlah yang memiliki segala sesuatu di bumi, sedangkan manusia hanya pemanfaat dari hal tersebut. Adapun kedudukan hsarta menurut al-quran dan as sunash:
  1. Harta sebagai potensi positif
  2. Harta sebagai potensi negatif

D.    Pembagian Harta
Harta menurut hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.
1.      Ditinjau dari segi ada tidaknya perlindungan dan kedudukan keadaan dari syara’ atau ditinjau dari segi diperbolehkannya atau tidak mengambil manfaatnya oleh syara’, dibagi menjadi dua yaitu Al-Mutaqawwim (Benda Bernilai) dan Ghairu Mutaqawwim (Benda tidak Bernilai).
Benda mutaqawwim merupakan benda yang mempunyai nilai menurut syara dan dilindunginya, oleh karena itu orang yang bukan pemiliknya dituntut mengganti dengan benda atau serupa apabila merusakkannya. Contoh benda mutaqawwim yaitu uang, runah, tanah yang dimiliki, dan sebagainya.
Benda ghairu mutaqawwim merupakan benda yang dapat diambil manfaatnya, tetapi belum dikuasai (dengan perbuatan) atau disimpan oleh seseorang, yakni benda-benda bebas (al-Mubahah) atau benda-benda yang dikuasai atau disimpan, tetapi tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya oleh syara’ dalam keadaan biasa bukan terpaksa.
Berdasarkan pengertian tersebut emas yang masih dalam tanah, binatang buruan dihutan belantara, ikan dilaut, dan sebagainya meskipun halal bukan termasuk benda mutaqawwim karena belum dikuasai atau diambil seseorang meskipun boleh diambil manfaatnya serta tidak ada larangan untuk memilikinya. Benda-benda tersebut dipandang sebagai benda bebas (al-mubahah) dan tidak ada perlindungan syara terhadapnya, oleh karena itu apabila seseorang merusaknya tidak ada tuntutan untuk menggantinya.[4]
Ada problem hukum yang perlu diperhatikan, misalnya ketika terjadi jual beli  khamr oleh orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam. Menurut pendapat mazhab Syafi’iyah bahwa orang non muslim yang melakukan transaksi khamr dinegeri Islam  dilarang, karena khamr adalah benda ghairu mutaqawwim bagi orang Islam, mereka yang berada di negeri Islam harus tunduk dengan sistem yang berlaku di negeri Islam, sehingga khamr harus dilenyapkan. Berbeda dengan pendapat mazhab hanafi, orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam boleh melakukan transaksi khamr karena menurut keyakinan mereka khamr adalah harta bernilai. Untuk itu maka negeri Islam harus menghormati keyakinan orang non muslim karena mereka telah membayar pajak berupa jizyah pada negara Islam. Dan ketika Umar bin Khattab sebagai khalifah beliau tidak melenyapkan khamr milik orang Yahudi, hanya menarik pajak 10% dari hasil transaksi khamr dari mereka.[5]
2.      Ditinjau dari segi tetap tidaknya suatu benda dari tempat asalnya, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Uqar (benda tetap) dan al-Manqul (benda bergerak).[6]
Benda al-Uqar yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, misalnya, tanah, rumah atau dalam istilah hukum perdata barat disebut benda tetap.
Benda al-Manqul yaitu harta yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, seperti, kursi, meja, sepeda, atau dalam istilah hukum perdata barat disebut dengan benda bergerak.
Akibat hukum dari pembagian kedua benda tersebut (al-Uqar wa al-Manqul) adalah:
a.       Syuf’ah (pro-emption) atau hak seseorang pembeli membeli lebih dahulu daripada orang lain tidak berlaku pada benda yang dijual kecuali benda tetap, dan tidak berlaku syuf’ah jika benda tersebut berupa benda bergerak.
b.      Wakaf berlaku pada benda tetap berdasarkan kesepakatan para fuqaha. Adapun untuk benda bergerak terdapat perbedaan pendapat. Menurut pendapat Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, bahwa wakaf harus dengan benda tetap, tidak boleh dengan benda bergerak, kecuali berdasarkan pada asar yang shahih seperti mewakafkan kuda atau senjata atau mewakafkan kitab.
c.       Penerima wasiat (al-washi) terhadap harta yang ditahan (al-qashir), jika harta tersebut benda tetap, maka si penerima wasiat tidak boleh menjualnya, kecuali untuk melunasi hutang atau karena adanya unsur maslahah dan syara membolehkan.
d.      Pemanfaatan oleh pembeli benda tetap sebelum adanya penyerahan barang tersebut menurut Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf dibolehkan. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Muhammad, tidak boleh memanfaatkan benda tetap yang telah dibeli sebelum adanya penyerahan bendanya. Apabila bendanya dapat bergerak, para fuqaha sepakat tidak boleh memanfaatkan benda yang dibeli sebelum ada penyerahan kepada pembeli, karena untuk menjaga jangan sampai terjadi penyalahgunaan terhadap pemakaian benda bergerak tersebut, sehingga prinsip menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.
e.       Hak irtifaq hanya berhubungan dengan benda tetap bukan benda bergerak.[7]
3.      Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya persamaan dalam dunia perdagangan, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Mitsli (benda persamaan) dan al-Qimi (benda tidak ada persamaan). Hukum perdata membagi benda menjadi benda yang dapat diganti dan dengan benda yang tidak dapat dibagi.[8]
Malul Mitsli (Benda yang ada persamaannya) adalah harta yang ada persamaan kesatuannya dapat berdiri sebagiannya ditempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai), misalnya: beras C4, uang rupiah, uang dollar, dan lain-lain. Atau dengan istilah: Harta yang mudah diperoleh persamaannya di pasar-pasar atau di mana saja tanpa berlebih kurang.
Malul Qimi (Benda yang tidak ada persamaannya) adalah harta atau benda yang berlebih kurang kesatuan-kesatuannya, karenanya tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan, misalnya: Rumah A tidak sama dengan rumah B, karena sama-sama jenis rumah, tetapi rumah A kualitas bangunan dan ukurannya akan beda dengan rumah B. Atau dengan istilah: Harta yang tidak diperoleh padanannya di pasar atau di tempat lain, atau diperoleh akan tetapi dengan berlebih kurang dari nilai harganya.
Akibat hukum dari kedua pembagian benda tersebut adalah:
a.       Apabila seseorang berhutang benda mitsli atau merusakkannya, maka harus mengganti dengan benda yang semisal, sebaliknya jika bendanya qimi, maka dzimah (tanggung jawab) membayarnya atau mengembalikannya berupa harga barangnya bukan benda semisalnya.
b.      Apabila benda tersebut milik bersama (musyarakah), jika bendanya berupa mitsli, maka masing-masing anggota sekutu bisa mengambil yang menjadi bagiannya tanpa menunggu izin dari sekutu yang lain, lain halnya jika benda tersebut berupa qimi yang belum dipisah-pisahkan satu sama lain, maka anggota pemilik sekutu harus menunggu izin sekutu lain[9]
4.      Ditinjau dari segi pemakaian yaitu apakah dipakai sekali habis atau beberapa kali, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Istihlaki dan al-Isti’mali.
Al-Istihlaki yaitu suatu benda yang hanya dapat dipakai sekali kemudian habis, seperti makanan, minuman, kayu bakar, kertas tulis, dan sebagainya.
Benda-benda ini ada dua macam, yaitu:
a.       Istihlaki Haqiqi (sebenarnya) ialah benda-benda yang dipakai sekali benar-benar habis, seperti minuman, kayu bakar dan sebagainya.
b.      Istihlaki Haquqi (menurut hukum) ialah benda-benda yang dipergunakan sekali habis meskipun bendanya masih utuh seperti mata uang yang dipergunakan untuk membayar utang dianggap habis meskipun benda-bendanya masih utuh (ditangan yang lain) kertas tulis dianggap habis apabila telah dipergunakan menulis.
Al-Isti’mali  yaitu benda-benda yang tidak habis atau musnah dengan dipakai sekali tetapi dapat dipakai beberapa kali, menurut sifatnya masing-masing, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, dan lain sebagainya.[10]
Akibat hukum dari pembagian benda tersebut adalah terletak pada dapat tidaknya benda-benda tersebut menerima akad:
a.       Benda Isti’mali tidak menerima akad yang berlaku pada benda istihlaki dan sebaliknya, karena akad dalam benda isti’mali ditujukan kepada manfaat bendanya, sedang barangnya masih tetap utuh, akan tetapi akad dalam benda istihlaki memanfaatkan bendanya harus dengan cara menghabiskan benda itu sendiri.
b.      Benda Istihlaki berlaku untuk akad qard (utang piutang uang), sedangkan benda isti’mali berlaku untuk akad ijarah (sewa menyewa).[11]
5.      Ditinjau dari segi apakah benda merupakan materi kongkrit dalam kekuasaan sendiri ataukah merupakan sesuatu benda dalam tanggungan orang lain, benda dibagi menjadi dua yaitu al-Ain dan ad-Dain.[12]
Malul ‘ain yaitu harta berupa barang yang kelihatan. Misalnya: kuda, roti, rumah dll. Harta Ain dibagi menjadi dua bagian[13] :
a.    Harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi :
1.    Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
2.    Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
3.    Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
4.    Benda yang dianggap harta yang sulit dicari sepadanya yang serupa.
5.    Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
6.    Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
b.    Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
Malud Dain yaitu sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Maksudnya Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain. Misalnya sejumlah uang yang dihutangkan.[14]
6.      Ditinjau dari segi apakah dapat atau tidaknya dimiliki, benda dibagi menjadi Al Mulk, Al Mahjur, dan Al Mubah.[15]
Mal al mamluk Ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu [16]:
1.      Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2.      Harta pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bula knepada orang lain.
Mal Mubah yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
Mal Mahjur yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
7.      Ditinjau dari segi dari sumber benda, benda dibagi menjadi Aa Ashl (harta pokok) dan Ats tsamarah (harta hasil).
Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain. Dan Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal, misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
8.      Ditinjau dari dapat tidaknya dibagi, benda dibagi menjadi qismah dan ghairu qismah.
Malul Qisma adalah harta benda yang dapat di bagi menjadi bebebrapa bagian dengan tidak menimbulkan kerusakan dan berkurangnya manfaat masing-masing bagian dibandingkan dengan sebelum dilakukan pembagian, seperti emas batangan, daging, kayu dan lain-lainnya. Sedangkan yang di maksud Ghairu Qismah adalah harta yang tidak dapat dilakukan pembagian sebagaimana Malul Qismah, seperti gelas, kursi dan perhiasan.
Perbedaan ini mengakibatkan konsekuensi hukum yaitu:
Pertama, penyelisihan terhadap Malul Qismah yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut tafriq, yakni membagi benda menadji beberapa bagian yang terpisah.
Kedua, persekutuan terhadap Mal Ghairu Qismah yang belum di tentukan bagian masing-masing, maka pemilik bagian tersebut sah melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain.
Ketiga, biaya perawatan terhadap Malul Qismah yang berupa harta yang tidak brgerak yanmg dimiliki secara berserikat yang dikeluarkan oleh oleh seorang pemilik tanpa sepengetahuan atau tanpa seizin pemilik lainnya berlaku sebagai pembiayaan sukarela yang tidak dapat dimintakkan ganti kepada pemilik lainnya.
9.      Dilihat dari segi peruntukannya harta di bagi menjadi:
Malul khas (harta pribadi), adalah harta benda yang dimiliki oleh pribadi seseorang dan orang lain terhalang untuk menguasainya dan memanfaatkannya tanpa seizing pemiliknya.
Malul ‘Amm(harta masyarakat umum), adalah harta benda yang menjadi milik masyarakat yang sejak semula di maksudkan untuk kemaslahatan dsan kepentingan umum.
Perbedaan jenis harta seperti ini mengakibatkan beberapa jenis konsekuensi hukum sebagaimana berikut :
Pertama, Malul khas dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara perikatan yang di benarkan syara’, sedangkan Malul ‘Amm tidak dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas. Kedua, apabila seseorang menggunakan Malul ‘Amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi. Ketiga, Malul ‘Amm tidak dapat dibebaskan oleh pribadi kecuali demi atas nama kepentingan umum yang sangat besar.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
1.      Harta dalam kitab fiqih disebut mall, menurut bahasa segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupann, maksudnya yaitu segala sesuatu yang menyertai baik berupa benda maupun manfaat [17] مايقتفي من كل شئ سؤا اكان عينااو منفعة   artinya yaitu segala sesuatu yang menyertai baik berupa benda atau manfaat adalah mal.
2.      Adapun kedudukan hsarta menurut al-quran dan as sunash: Harta sebagai potensi positif Dan Harta sebagai potensi negatif.
3.      Adapan unsur-unsur penentu sesuatu dikatakan sebuah benda yaitu; Kemungkinan dapat dikuasai dan atau dapat disimpan, Dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan
Adapun menurut salman madkur unsur-unsur benda ada tiga yaitu; Dapat dimilik, Dapat diambil manfaatnya, Pemanfaatanya diobolehkan ole Syara’ dalam keadaan bias maupun terpaksa.
4.      Harta menurut hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Ash Ashiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,. 2002. Pegantar Fiqh Muamalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hendi Suhendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo.
Mujibatun,Siti. 2012. Pengantar Fiqh Muamalah. Semarang: eLSA.
Syafe’i, Rachmat. 2000. Fiqih Muamalah. Bandung : CV Pustaka Setia.
,




[1] Siti Mujibatun. Pengantar fiqih muamalah. (semarang: Elsa. 2012) hal 33
[2] Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: PT raja Grafindo Persada 2010) Hal 41
[3]  Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: PT raja Grafindo Persada 2010) Hal 42

[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 51-52
[5] Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 37
[6] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 55
[7] Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 39-41
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 59
[9] Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 38-39
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 69-70
[11] Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 41-42
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 64
[13] Syafe’i, Rachmat,  Fiqih Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hal. 38
[14] Siti Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 42-43
[15] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 64
[16] Ash Ashiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,  Pegantar Fiqh Muamalah. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 150

[17] Siti Mujibatun. Pengantar fiqih muamalah. (semarang: Elsa. 2012) hal 33

Posting Komentar

0 Komentar

close
REKOMENDASI BARANG MURAH