BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kehidupan umat manusia, harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting.
Sebab harta adalah salah satu bentuk perhiasan kehidupan dunia. Dengan harta,
manusia dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari mulai dari yang primer,
sekunder, bahkan tersier sekalipun. Oleh karena harta pula lah akan terjadi
interaksi sosial atau hubungan horizontal (manusia).
Di dalam Islam,
perhatian terhadap harta diberikan secara lebih dan dalam. Hal ini dibuktikan
dengan banyak disebutkannya harta di dalam Al Quran. Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap
kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang
seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan
satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua
kejadian-kejadian.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Harta?
2.
Bagaimana penjelasan unsur
unsur kebendaan
3.
Bagaimana kedudukan harta
dalam pandangan Islam?
4.
Bagaimana pengklasifikasikan
harta atau benda berdasarkan hukum Islam?
C. Tujuan Makalah
1.
Mengetahui penjelasan
tentang harta.
2.
Mengetahui penjelasan unsur
unsur kebendaan
3.
Mengetahui kedudukan harta
dalam pandangan Islam.
4.
Mengetahui mengenai pengklasifikasikan
harta atau benda berdasarkan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta
Harta dalam kitab fiqih disebut mall, menurut bahasa segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam kehidupann, maksudnya yaitu segala sesuatu yang menyertai
baik berupa benda maupun manfaat [1] مايقتفي من كل شئ سؤا اكان عينااو منفعة artinya yaitu segala sesuatu yang menyertai
baik berupa benda atau manfaat adalah mal. Adapun mal menurut istilah sesuatu
yang diambil manfaatnya dan dipelihara secara umum, ما يكون حيازته واحتراوهةالاءنتفاعهفىاالعادة artinya
sesuatu yang dikumpulkan atau di pelihara dan juga disimpan serta diambil
manfaatmya menurut kebiasaan.
Adapun benda menurut beberapa ahli:
1.
Menurut golongan hanafiah. Mereka membetri batasn
dengan kemungkinan dapat disimpan (iddikhar) untuk pengecualian manfaat karena
manfaat tidak termasuk benda melainkan
termasuk hak milik.
2.
Para fuqoha, berpendapat bahwa pengertian benda
ditambah dengan serta dapat diserahkan (levering) dan dapat dihalangi seorang
mempergunakan atau menikmatinya.
3.
Menurut para ulama, poengertian diatas kurang tepat
karena ada hal yang secara naluri tidak cenderung mencintainya, seperti racun,
obat-pbatan dan sebagainya. Dan ada juga yang tidak bias disimpan lama seperti
sayur, buah-buahan, dan sebagainya.
4.
Dr. Muhammad Mustofa Syalabi berpendapat bahwa benda
sesuatu yang mungkin dapat dikuasai dan atau dapat disimpen serta diambil
manfaatnya menurut kebiasaan.
5.
Dr. Mustofa ahmad Zarqa berpendapat segala wujud
materi yang mempunyai nilai dan beredar dikalangan manusia.[2]
Jadi benda adalah sesuatu yang mempunyai
nilai dan manfaat serta beredar dikalangan manusia yang digunakan dalam waktu
biasa.
B. Unsur-Unsur Kebendaan
Adapan unsur-unsur penentu sesuatu dikatakan sebuah
benda yaitu;
1. Kemungkinan dapat dikuasai dan atau dapat
disimpan
2. Dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan
Adapun menurut salman madkur unsur-unsur benda ada
tiga yaitu;
1. Dapat dimilik
2. Dapat diambil manfaatnya
3. Pemanfaatanya diobolehkan ole Syara’ dalam
keadaan bias maupun terpaksa.[3]
C. Kedudukan Harta Dalam Islam
Islam menetapkan segala sesuatu yang ada di langit
atau yang terhampar di bumi adalah anugrah dari Allah SWT yang diperuntukan
untuk manusia untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kesejahteraan yang
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya
harta adalah mlik allah SwT yang diberikan kepada manusia sebagai amanat untuk
dibelanjakan dengan mengunakan aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh allah
, sehingga manusia dalam pemanfaatan atas benda di batasi oleh aturan-aturan
allah melalui hukum-Nya. Karena allahlah yang memiliki segala sesuatu di bumi,
sedangkan manusia hanya pemanfaat dari hal tersebut. Adapun kedudukan hsarta
menurut al-quran dan as sunash:
- Harta sebagai
potensi positif
- Harta sebagai
potensi negatif
D. Pembagian Harta
Harta menurut
hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi
masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.
1. Ditinjau
dari segi ada tidaknya perlindungan dan kedudukan keadaan dari syara’ atau
ditinjau dari segi diperbolehkannya atau tidak mengambil manfaatnya oleh
syara’, dibagi menjadi dua yaitu Al-Mutaqawwim (Benda Bernilai) dan Ghairu
Mutaqawwim (Benda tidak Bernilai).
Benda mutaqawwim
merupakan benda yang mempunyai nilai menurut syara dan dilindunginya, oleh
karena itu orang yang bukan pemiliknya dituntut mengganti dengan benda atau
serupa apabila merusakkannya. Contoh benda mutaqawwim yaitu uang, runah,
tanah yang dimiliki, dan sebagainya.
Benda ghairu
mutaqawwim merupakan benda yang dapat diambil manfaatnya, tetapi belum
dikuasai (dengan perbuatan) atau disimpan oleh seseorang, yakni benda-benda
bebas (al-Mubahah) atau benda-benda yang dikuasai atau disimpan, tetapi
tidak diperbolehkan mengambil manfaatnya oleh syara’ dalam keadaan biasa bukan
terpaksa.
Berdasarkan
pengertian tersebut emas yang masih dalam tanah, binatang buruan dihutan
belantara, ikan dilaut, dan sebagainya meskipun halal bukan termasuk benda mutaqawwim
karena belum dikuasai atau diambil seseorang meskipun boleh diambil manfaatnya
serta tidak ada larangan untuk memilikinya. Benda-benda tersebut dipandang
sebagai benda bebas (al-mubahah) dan tidak ada perlindungan syara
terhadapnya, oleh karena itu apabila seseorang merusaknya tidak ada tuntutan
untuk menggantinya.[4]
Ada problem
hukum yang perlu diperhatikan, misalnya ketika terjadi jual beli khamr oleh orang-orang non muslim yang berada
di negeri Islam. Menurut pendapat mazhab Syafi’iyah bahwa orang non muslim yang
melakukan transaksi khamr dinegeri Islam
dilarang, karena khamr adalah benda ghairu mutaqawwim bagi orang
Islam, mereka yang berada di negeri Islam harus tunduk dengan sistem yang
berlaku di negeri Islam, sehingga khamr harus dilenyapkan. Berbeda dengan
pendapat mazhab hanafi, orang-orang non muslim yang berada di negeri Islam
boleh melakukan transaksi khamr karena menurut keyakinan mereka khamr adalah
harta bernilai. Untuk itu maka negeri Islam harus menghormati keyakinan orang
non muslim karena mereka telah membayar pajak berupa jizyah pada negara
Islam. Dan ketika Umar bin Khattab sebagai khalifah beliau tidak melenyapkan
khamr milik orang Yahudi, hanya menarik pajak 10% dari hasil transaksi khamr
dari mereka.[5]
2. Ditinjau
dari segi tetap tidaknya suatu benda dari tempat asalnya, benda dibagi menjadi
dua yaitu al-Uqar (benda tetap) dan al-Manqul (benda
bergerak).[6]
Benda al-Uqar
yaitu harta yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain,
misalnya, tanah, rumah atau dalam istilah hukum perdata barat disebut benda
tetap.
Benda al-Manqul
yaitu harta yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, seperti,
kursi, meja, sepeda, atau dalam istilah hukum perdata barat disebut dengan
benda bergerak.
Akibat hukum dari pembagian kedua benda tersebut (al-Uqar
wa al-Manqul) adalah:
a.
Syuf’ah
(pro-emption) atau hak seseorang pembeli membeli lebih dahulu daripada
orang lain tidak berlaku pada benda yang dijual kecuali benda tetap, dan tidak
berlaku syuf’ah jika benda tersebut berupa benda bergerak.
b.
Wakaf berlaku pada benda tetap
berdasarkan kesepakatan para fuqaha. Adapun untuk benda bergerak terdapat
perbedaan pendapat. Menurut pendapat Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi,
bahwa wakaf harus dengan benda tetap, tidak boleh dengan benda bergerak,
kecuali berdasarkan pada asar yang shahih seperti mewakafkan kuda atau senjata
atau mewakafkan kitab.
c.
Penerima wasiat (al-washi)
terhadap harta yang ditahan (al-qashir), jika harta tersebut benda
tetap, maka si penerima wasiat tidak boleh menjualnya, kecuali untuk melunasi
hutang atau karena adanya unsur maslahah dan syara membolehkan.
d.
Pemanfaatan oleh pembeli benda tetap
sebelum adanya penyerahan barang tersebut menurut Imam Abu Hanifah dan Abu
Yusuf dibolehkan. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Muhammad, tidak boleh
memanfaatkan benda tetap yang telah dibeli sebelum adanya penyerahan bendanya.
Apabila bendanya dapat bergerak, para fuqaha sepakat tidak boleh memanfaatkan
benda yang dibeli sebelum ada penyerahan kepada pembeli, karena untuk menjaga
jangan sampai terjadi penyalahgunaan terhadap pemakaian benda bergerak
tersebut, sehingga prinsip menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada
menarik manfaat.
e.
Hak irtifaq hanya berhubungan
dengan benda tetap bukan benda bergerak.[7]
3. Ditinjau
dari segi ada atau tidak adanya persamaan dalam dunia perdagangan, benda dibagi
menjadi dua yaitu al-Mitsli (benda persamaan) dan al-Qimi (benda
tidak ada persamaan). Hukum perdata membagi benda menjadi benda yang dapat
diganti dan dengan benda yang tidak dapat dibagi.[8]
Malul
Mitsli (Benda yang ada persamaannya) adalah harta yang ada
persamaan kesatuannya dapat berdiri sebagiannya ditempat sebagian yang lain
tanpa ada perbedaan yang perlu diperhatikan (dinilai), misalnya: beras C4, uang
rupiah, uang dollar, dan lain-lain. Atau dengan istilah: Harta yang mudah
diperoleh persamaannya di pasar-pasar atau di mana saja tanpa berlebih kurang.
Malul
Qimi (Benda yang tidak ada persamaannya) adalah harta
atau benda yang berlebih kurang kesatuan-kesatuannya, karenanya tidak dapat
berdiri sebagian di tempat sebagian yang lain tanpa ada perbedaan, misalnya:
Rumah A tidak sama dengan rumah B, karena sama-sama jenis rumah, tetapi rumah A
kualitas bangunan dan ukurannya akan beda dengan rumah B. Atau dengan istilah: Harta
yang tidak diperoleh padanannya di pasar atau di tempat lain, atau diperoleh
akan tetapi dengan berlebih kurang dari nilai harganya.
Akibat
hukum dari kedua pembagian benda tersebut adalah:
a.
Apabila seseorang berhutang benda mitsli
atau merusakkannya, maka harus mengganti dengan benda yang semisal, sebaliknya
jika bendanya qimi, maka dzimah (tanggung jawab) membayarnya atau
mengembalikannya berupa harga barangnya bukan benda semisalnya.
b.
Apabila benda tersebut milik bersama (musyarakah),
jika bendanya berupa mitsli, maka masing-masing anggota sekutu bisa
mengambil yang menjadi bagiannya tanpa menunggu izin dari sekutu yang lain,
lain halnya jika benda tersebut berupa qimi yang belum dipisah-pisahkan
satu sama lain, maka anggota pemilik sekutu harus menunggu izin sekutu lain[9]
4. Ditinjau
dari segi pemakaian yaitu apakah dipakai sekali habis atau beberapa kali, benda
dibagi menjadi dua yaitu al-Istihlaki dan al-Isti’mali.
Al-Istihlaki
yaitu
suatu benda yang hanya dapat dipakai sekali kemudian habis, seperti makanan,
minuman, kayu bakar, kertas tulis, dan sebagainya.
Benda-benda
ini ada dua macam, yaitu:
a.
Istihlaki Haqiqi
(sebenarnya) ialah benda-benda yang dipakai sekali benar-benar habis, seperti
minuman, kayu bakar dan sebagainya.
b.
Istihlaki Haquqi (menurut
hukum) ialah benda-benda yang dipergunakan sekali habis meskipun bendanya masih
utuh seperti mata uang yang dipergunakan untuk membayar utang dianggap habis
meskipun benda-bendanya masih utuh (ditangan yang lain) kertas tulis dianggap
habis apabila telah dipergunakan menulis.
Al-Isti’mali yaitu benda-benda yang tidak habis atau musnah
dengan dipakai sekali tetapi dapat dipakai beberapa kali, menurut sifatnya
masing-masing, seperti kebun, tempat tidur, pakaian, dan lain sebagainya.[10]
Akibat hukum dari pembagian benda tersebut adalah
terletak pada dapat tidaknya benda-benda tersebut menerima akad:
a.
Benda Isti’mali tidak menerima
akad yang berlaku pada benda istihlaki dan sebaliknya, karena akad dalam
benda isti’mali ditujukan kepada manfaat bendanya, sedang barangnya
masih tetap utuh, akan tetapi akad dalam benda istihlaki memanfaatkan
bendanya harus dengan cara menghabiskan benda itu sendiri.
b. Benda
Istihlaki berlaku untuk akad qard (utang piutang uang), sedangkan
benda isti’mali berlaku untuk akad ijarah (sewa menyewa).[11]
5. Ditinjau
dari segi apakah benda merupakan materi kongkrit dalam kekuasaan sendiri
ataukah merupakan sesuatu benda dalam tanggungan orang lain, benda dibagi
menjadi dua yaitu al-Ain dan ad-Dain.[12]
Malul ‘ain yaitu harta berupa
barang yang kelihatan. Misalnya: kuda, roti, rumah dll. Harta Ain dibagi menjadi dua bagian[13] :
a. Harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang
memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain
dzati qimah meliputi :
1.
Benda yang dianggap harta yang boleh diambil
manfaatnya.
2. Benda yang dianggap harta yang tidak boleh
diambil manfaatnya.
3. Benda yang dianggap sebagai harta yang ada
sebangsanya.
4. Benda yang dianggap harta yang sulit dicari
sepadanya yang serupa.
5. Benda yang dianggap harta berharga dan
dapat dipindahkan (bergerak)
6. Benda yang dianggap harta berharga dan
tidak dapat dipisahkan (tetap)
b. Harta ‘ain ghayr dzati qimah yaitu benda
yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau
harga, misalnya sebiji beras.
Malud Dain yaitu
sesuatu yang berada dalam tanggung jawab. Maksudnya Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih
berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta
tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan
orang lain. Misalnya sejumlah uang yang dihutangkan.[14]
6. Ditinjau
dari segi apakah dapat atau
tidaknya dimiliki, benda dibagi menjadi Al Mulk, Al Mahjur, dan Al Mubah.[15]
Mal
al mamluk Ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik
milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta
mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu [16]:
1. Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan
dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan
yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai
sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2. Harta pengkongsian antara dua pemilik yang
berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi
memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan
selama satu bula knepada orang lain.
Mal Mubah yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan
merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan
darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh
memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan
menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta
yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
Mal Mahjur yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk
dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut
berbentuk wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti
jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
7. Ditinjau
dari segi dari sumber
benda,
benda dibagi menjadi Aa Ashl
(harta pokok) dan Ats tsamarah (harta hasil).
Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya
muncul harta lain. Dan Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain
(harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal,
misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah
bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya
merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai
tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
8. Ditinjau
dari dapat tidaknya
dibagi,
benda dibagi menjadi qismah
dan ghairu qismah.
Malul
Qisma adalah harta benda yang dapat di bagi menjadi bebebrapa bagian dengan
tidak menimbulkan kerusakan dan berkurangnya manfaat masing-masing bagian
dibandingkan dengan sebelum dilakukan pembagian, seperti emas batangan, daging,
kayu dan lain-lainnya. Sedangkan yang di maksud Ghairu Qismah adalah harta yang
tidak dapat dilakukan pembagian sebagaimana Malul Qismah, seperti gelas, kursi
dan perhiasan.
Perbedaan ini mengakibatkan konsekuensi
hukum yaitu:
Pertama, penyelisihan terhadap Malul Qismah
yang menjadi milik bersama diselesaikan oleh keputusan hakim melalui qismatut
tafriq, yakni membagi benda menadji beberapa bagian yang terpisah.
Kedua, persekutuan terhadap Mal Ghairu
Qismah yang belum di tentukan bagian masing-masing, maka pemilik bagian
tersebut sah melimpahkan pemilikan tersebut kepada orang lain.
Ketiga, biaya perawatan terhadap Malul
Qismah yang berupa harta yang tidak brgerak yanmg dimiliki secara berserikat
yang dikeluarkan oleh oleh seorang pemilik tanpa sepengetahuan atau tanpa
seizin pemilik lainnya berlaku sebagai pembiayaan sukarela yang tidak dapat
dimintakkan ganti kepada pemilik lainnya.
9. Dilihat dari segi peruntukannya harta di
bagi menjadi:
Malul
khas (harta pribadi), adalah harta benda yang dimiliki oleh pribadi
seseorang dan orang lain terhalang untuk menguasainya dan memanfaatkannya tanpa
seizing pemiliknya.
Malul
‘Amm(harta masyarakat umum), adalah harta benda yang menjadi milik
masyarakat yang sejak semula di maksudkan untuk kemaslahatan dsan kepentingan
umum.
Perbedaan jenis harta seperti ini
mengakibatkan beberapa jenis konsekuensi hukum sebagaimana berikut :
Pertama,
Malul khas dapat ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas melalui cara-cara
perikatan yang di benarkan syara’, sedangkan Malul ‘Amm tidak dapat
ditasharrufkan oleh pemiliknya secara bebas. Kedua, apabila seseorang menggunakan Malul
‘Amm tanpa kesepakatan pihak-pihak yang berwenang untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, Malul ‘Amm tidak dapat dibebaskan oleh pribadi kecuali demi atas nama
kepentingan umum yang sangat besar.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Harta dalam kitab fiqih disebut mall, menurut bahasa segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam kehidupann, maksudnya yaitu segala sesuatu yang menyertai
baik berupa benda maupun manfaat [17] مايقتفي من كل شئ سؤا اكان عينااو منفعة artinya yaitu segala sesuatu yang menyertai
baik berupa benda atau manfaat adalah mal.
2. Adapun kedudukan hsarta menurut al-quran
dan as sunash: Harta sebagai potensi positif Dan Harta sebagai potensi negatif.
3. Adapan unsur-unsur penentu sesuatu
dikatakan sebuah benda yaitu; Kemungkinan dapat dikuasai dan atau dapat
disimpan, Dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan
Adapun menurut salman madkur unsur-unsur
benda ada tiga yaitu; Dapat dimilik, Dapat diambil manfaatnya, Pemanfaatanya
diobolehkan ole Syara’ dalam keadaan bias maupun terpaksa.
4. Harta
menurut hukum islam dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari beberapa segi
masing-masing bagian mempunyai ciri-ciri khusus dan hukum-hukum tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Ashiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,.
2002. Pegantar Fiqh Muamalah. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hendi
Suhendi. 2010. Fiqh
Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo.
Mujibatun,Siti. 2012. Pengantar Fiqh
Muamalah. Semarang: eLSA.
Syafe’i, Rachmat. 2000. Fiqih Muamalah. Bandung : CV Pustaka Setia.
,
[1] Siti
Mujibatun. Pengantar fiqih muamalah. (semarang: Elsa. 2012) hal 33
[2] Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah.
(Jakarta: PT raja Grafindo Persada 2010) Hal 41
[4] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 51-52
[5] Siti
Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 37
[6] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 55
[7] Siti
Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 39-41
[8] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 59
[9] Siti
Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 38-39
[10] Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 69-70
[11] Siti
Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 41-42
[12] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 64
[14] Siti
Mujibatun, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: eLSA, 2012), hlm. 42-43
[15] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2010), hlm. 64
[16] Ash Ashiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Pegantar Fiqh Muamalah. (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 150
[17] Siti
Mujibatun. Pengantar fiqih muamalah. (semarang: Elsa. 2012) hal 33
0 Komentar