Politik Hukum Islam Era Kolonial dan Pengaruhnya Terhadap Evolusi Hukum Islam di Indonesia

Recent Posts

Politik Hukum Islam Era Kolonial dan Pengaruhnya Terhadap Evolusi Hukum Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Selama hampir 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, tentu saja hal ini mengakibatkan beberapa kebiasan orang Belanda mulai bercampur dan menjadi kebiasaan orang Indonesia. Mulai dari hal-hal kecil seperti dari cara berpakaian, bergaul hingga cara berfikir sedikit demi sedikit meyerupai cara berfikir orang Belanda. Dalam kurun waktu yang lama itu pula Belanda mulai menetapkan beberapa kebijakan yang sifatnya menguntungkan bangsa mereka dan merugikan bangsa Indonesia, sebagian kebijakan yang mereka tetapkan merupakan bawaan dari negaranya dan sebagian lainnya merupakan campuran dari kebijakan yang ada di Indonesia.
Belanda dalam mempertahankan daerah yang dijajahnya tentu saja memiliki kiat-kiat yang cerdik. Salah satunya permainan politik, dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana belanda mempertahankan Indonesia dengan permainan politik hukumnya. Pengertian politik sendiri adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dari pengertiannya dapat disimpulkan bahwasanya Belanda melancarkan politik di Indonesia, salah satunya dalam jalur hukum.
Politik hukum yang dimainkan Belanda di Indonesia merupakan teknik politik memecah belah, dinamakan demikian karena dalam penetapan hukumnya Belanda membedakan hukum-hukum yang berlaku untuk orang-orang Hindia Belanda, orang Eropa Timur dan orang-orang Bumi Putera, dalam hal ini orang-orang Bumi Putera menempati posisi paling akhir dalam penerapan hirarki hukum. Bumi Putera yang dimaksud disini merupaka orang-orang yang berada di Pulau Jawa, sedangkan untuk orang-orang yang berada di Pulau Jawa hukum yang berlaku berbeda.
Rumusan Masalah
Bagaimana Politik Hukum Islam Zaman Kolonial?
Bagaimana Pengaruh Hukum Politik Islam Zamana Kolonial Pada Evolusi Hukum Islam di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN
Politik Hukum Islam Zaman Kolonial
Politik Hukum kolonial dimulai sejak adanya pengaturan dalam pasal 75 Reglemen Tata Pemerintahan Hindia Belanda (indische Regeringsreglement) dari tahun 1854. Supomo dan Djokosutono mengatakan baha ketika VOC berada di Indonesia, VOC mempunyai sikap rangkap yaitu, 1)sebagai saudagar yang melakukan perdagangan dan, 2) sebagai badan pemerintah yang berhak mengurus susunan rumah tangganya sendiri di Indonesia. Pasal 75 Reglemen Tata Pemerintahan Hindia Belanda (indische Regeringsreglement) dari tahun1854 menyatakan baha bagi penduduk eropa berlaku hukum Eropa. Sedangkan bagi pendudukgolongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat istiadat da pranata agama dengan catatan selama tidak bertentangan dengan kepatutan dan adab yang baik.
Saat dilakukannya perumusan pasal 75 tersebut, orang-orang Belanda dihadapkan dengan situasi diaman mereka tidak tahu seperti apa hukum golongan pribumi. Sehingga mereka membiarkan masyarakat pribumi hidup dan diatur dengan hukumnya sendiri. Berikut adalah beberapa peradilan yang diciptakan pemerintah Belanda, yaitu:
Untuk Kaum Pribumi:
Districtsgerecht, yaitu suatu badan pengadilan yang diselenggarakan untuk kaum pribumi, dengan wedana (penjabat yang pemerintahan yang berkedudukan langsung dibaah Bupati) bertindak sebagai hakim  dan perkara mengenai objek sengketa perkara perdata senilai 20 Gulden,dan sengketa pidana 3 Gulden.
Regentschapsgerecht, pengadilan yang hampir sama dengan Districtsgerecht, dengan sengketa perkara perdata 50 gulden, dan sengetaperkara pidana 10 Gulden, pengadilan ini juga merupakan pengadilan tingkat banding,
Landraad, badan pengadilan untuk pribumi, yang memngurusi perkara sengketa 50 Gulden, yang penggugatnya adalah orang eropa. Pengadilan ini juga merupakan pengadilan tingkat kasasi.

Untuk Kaum Eropa:
Residentiegerecht, yaitu badan pengadilan pemeritah yang secara eksklusif memeriksa dan mengadilidalam tingkat pertama orang Eropa, baik perkara perdata atau pidana.
Raad van Justitie, badan pengadilan untuk orang-orang Eropa dan Bangsaan-bansaan tinggi pribumi. Pengadilan ini diawaki oleh hakim-hakim dan panitera profesional. Merupakan pengadilan tingkat banding untuk orang Eropa.
Hooggerechttshof, badan pengadilan yang berkedudukan tertinggi dalam herarki pengadilan kolonial dan berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi. 
Dalam penjajahannya, Belanda menerapkan kebijakan politik hukum yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dan imperialisme mereka atas Indonesia, yang ketika itu disebut sebagai Hindia Belanda. Belanda menempuh kebijakan politik belah bambu dengan mempertentangkan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Dalam politik ini, Belanda mengutamakan hukum adat dan hukum Barat serta menyingkirkan hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Kebijakan ini melahirkan respons dari umat Islam, karena bersentuhan langsung dengan pengamalan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam oleh masyarakat. Setelah kemerdekaan, pengaruh politik hukum Hindia Belanda ini ternyata masih membekas di kalangan sebagian anak bangsa Indonesia.
Politik Belanda terhadap Islam di Indonesia (Nusantara) pada umumnya dan hukum Islam khususnya dapat dibagi ke dalam dua periode. Pertama adalah periode pemerintahan VOC sejak 1596 hingga pertengahan abad ke-19. Periode ini diselingi dengan masa pemerintahan Inggris pada 1811-1816. Kedua adalah periode pertengahan abad ke-19 hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.
Pada mulanya, pemerintahan VOC (Vereenigde Oost Inlandse Compagnie atau Pemerintahan Pedagang Hindia Belanda) mencoba menerapkan Hukum Belanda untuk masyarakat pribumi, namun tidak berjalan efektif. Akhirnya VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada di dalam masyarakat. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang berkuasa pada 1808-1811 juga menghormati hukum Islam penduduk pribumi di Jawa. Ia mengeluarkan peraturan bahwa hukum pribumi orang Jawa tidak boleh diganggu. Hak-hak penghulu agama untuk memutus perkara perkawinan dan kewarisan orang Jawa yang beragama Islam juga tidak boleh diambil alih. Alat-alat kekuasaan pemerintah Belanda harus mengakui kenyataan ini.
Ketika Inggris menguasai Indonesia (1811-1816), Sir Thomas Stanford Raffles yang menjadi Gubernur Jenderal juga mengakui keberlakuan hukum Islam di kalangan rakyat pribumi dalam mengatur perilaku mereka, terutama di bidang-bidang perkawinan dan kewarisan. Ketertarikannya pada hukum Islam dan hukum pribumi juga terlihat dalam rekomendasinya pada sebuah pertemuan Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta (Batavia) pada 24 April 1813.5 Ia tetap memberlakukan kebijakan penjajah Belanda sebelumnya terhadap pribumi. Raffles juga menetapkan penghulu sebagai salah satu anggota lembaga peradilan yang berfungsi sebagai penasihat.
Berdasarkan pendapat Van Den Berg , pada masa sebelum 1 April 1937, hukum Islam benar benar diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan Pengadilan Agama memiliki kompetensi yang luas, yakni seluruh hukum sipil bagi perkara-perkara yang diajukan, diputus berdasarkan hukum Islam.7 Pengadilan Agama mendapat pengakuan yang sama dengan Pengadilan Negeri (Landraad). Pengadilan Agama ada pada setiap tempat yang terdapat Pengadilan Neger
Kebijakan politik hukum Pemerintah Hindia Belanda pada mulanya tidak ingin mengganggu masalah agama (hukum) penduduk pribumi. Bahkan penjajah Belanda cenderung bersikap kompromistis dan memberikan sarana bagi pengakuan hukum Islam di kalangan penduduk. Berdasarkan kebijakan politik ini, Mason menyimpulkan bahwa Belanda juga memberi kontribusi bagi perkembangan hukum Islam di Jawa, umumnya Indonesia, dengan mempromosikan karya-karya hukum fikih ulama klasik dan pertengahan dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam sistem peradilan Islam. Meskipun secara asumtif dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut tidak terlepas dari motif imperialisme dan kolonialisme Belanda, yang jelas pelembagaan hukum Islam dan pengakuan oleh Belanda semakin memperkukuh kedudukan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
Memasuki pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai berusaha keras mencampuri urusan keagamaan penduduk pribumi. Perubahan kebijakan ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di negeri Belanda maupun di wilayah jajahan Hindia Belanda. Harry J. Benda menyebutkan bahwa orangorang Belanda di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia mengharapkan supaya pengaruh Islam di daerah jajahannya dihilangkan dengan mempercepat Kristenisasi sebagian besar orang Indonesia. Ini didasarkan pada anggapan orang Barat tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam.
Snouck Hurgronje membalikkan teori Van den Berg dan membangun teori Receptie. Menurut dia, hukum yang berlaku bagi rakyat pribumi pada dasarnya adalah hukum adat. Snouck beranggapan bahwa kaum Muslim Indonesia lebih menghargai mistik daripada hukum Islam dan lebih menghargai pemikiran agama yang spekulatif daripada pelaksanaan kewajiban agama itu sendiri.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, pada awalawal abad ke-20 tercatat telah tiga kali pemerintah kolonial Belanda ingin menerapkan hukum Barat untuk penduduk pribumi. Pertama, tahun 1904, 1919 dan terakhir tahun 1923. digagalkan oleh Van Vollenhoven yang menginginkan penerapan hukum adat dalam masyarakat pribumi.
Sejalan dengan pemberlakuan IS ini dilakukanlah usaha-usaha untuk mempersempit dan menghapus hukum Islam dalam masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda menghilangkan kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dalam masalah waris dan mengalihkannya kepada Pengadilan Negeri (Landraad). . Politik hukum pemerintah penjajah Belanda yang menghapus kompetensi Pengadilan Agama dalam masalah waris ini ternyata mendapat dukungan penuh dari kalangan priyayi Jawa dan kalangan aristokrat di pelbagai daerah di Indonesia. Ini wajar saja karena mereka mendapat keuntungan ekonomis, budaya, dan politis dari kebijakan ini. Ini menandai keberhasilan penjajah Belanda dalam mengebiri hukum Islam dan mempertentangkan sistem hukum di Indonesia.

Implikasi Politik Hukum Hindia Belanda
Politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mempertentangkan hukum Islam dengan adat tampak berhasil memengaruhi sebagian sarjana Indonesia pada masa pasca kemerdekaan. Dalam perkembangannya, ketika ada upaya legislasi hukum Islam, biasanya para ahli hukum yang memperoleh pengaruh cara berpikir Belanda akan  menolaknya.
teori Receptie pun mendapat perlawanan keras dari pakar hukum Indonesia. Salah seorang yang paling gigih menentangnya adalah Hazairin. Ia menegaskan bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan dan setelah UUD 1945 disahkan, seluruh peraturan Belanda yang bersandar pada teori Receptie tidak berlaku lagi, karena jiwanya tidak sesuai dengan semangat UUD 1945. Teori Receptie ini harus keluar dan tata hukum Indonesia, karena bertentangan dengan Alquran dan Sunah Rasul. Hazairin bahkan menegaskan teori Receptie ini sebagai “teori Iblis.”
Sajuti Thalib, juga menolak teori Receptie. Ia bahkan membalikkan teori tersebut dengan mengatakan bahwa yang berlaku dalam masyarakat Indonesia adalah hukum Islam. Ia menyimpulkan pandangannya setelah melihat bahwa di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung, yang berlaku adalah hukum Islam. Mereka dapat menjalankan adat dengan aman kalau dilindungi oleh Islam. Adat yang mereka laksanakan tersebut sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kasus perumusan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, terjadi tarik-menarik yang alot antara kelompok muslim yang ingin memasukkan nilai-nilai ajaran Islam dan kelompok sekuler yang memandang perkawinan hanya sebagai perjanjian belaka.
Dalam kasus perumusan UU tentang Peradilan Agama, respons dan reaksi negatif dikemukakan terutama oleh kalangan non-Muslim.

Penolakan-penolakan terhadap pelbagai regulasi yang mengatur tentang kepentingan umat Islam tersebut memperlihatkan bahwa sisa-sisa politik hukum Hindia Belanda yang membenturkan sistem hukum di Indonesia masih ada dalam pemikiran sebagian anak bangsa ini. Mereka tidak ingin umat Islam memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan ajaran agama yang mereka yakini. Padahal, UUD 1945 sendiri memberi kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memeluk agama dan melaksanakan ajaran agamanya. Inilah salah satu perjuangan umat Islam, sehingga warisan pemikiran trikotomi di kalangan sebagian kalangan bangsa Indonesia dapat terhapuskan.
Pengaruh Hukum Politik Islam Zamana Kolonial Pada Evolusi Hukum Islam di Indonesia
Untuk memeberi gambaran tentang posisi Lembaga peradilan agama di Indonesia orang harus mempertimbangkan masalah hukum islam di Indonesia, setidaknya pada tiga masa penting : masa sebelum penjajahan yakni masa kesultanan islam, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Setiap masa memiliki ciri-ciri tersendiri yang mempersentasikan pasang surut pemikiran hukum islam di Indonesia.
Sebelum islam datang ke indonesia, di negara ini telah dijumpai dua macam peradilan, yakni peradilan pradata dan peradilan padu. Peradilan perdata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan peradilan padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan pradata bila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum hindu yang terdapat dalam papakem atau kitab hukum sehingga tertulis, sementara pengadilan padu berdasarkan pada hukum indonesia asli yang tidak tertulis.
Peradilan agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya agama islam. Dengan masuknya agama islam di indonesia, maka tata hukum di indonesia mengalami perubahan. Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaanya, tetapi hukum islam telah menyebar di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal inilah yang mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan peradilan agama di indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan peradilan agama pada masa kesultanan islam bercorak majemuk. Kemajmukan itu amat bergantung kepada proses islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren dan bentuk integrasi antara hukum islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan ini terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing.
Pada masa pemerintahan sultan agung di mataram peradilan pradata menjadi peradilab serambi, yang dilaksanakan di serambi masjid. Keputusan pengadilan serambi berfungsi sebagai nasihat bagi sultan dalam mengambil keputusan. Pada masa ini beliau merubah sistem peradilan yang ada dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran di bawah pengaruh islam.
Di aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum  islam menyatu dengan peradilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan. Tingkatan pertama dilaksanakan dikampung, tingkatan kedua Oeloebalang, dan tingkatan ketiga  panglima sagi.
Peradilan Agama Masa Kolonial Belanda
Periode Sebelum Tahun 1882
Sebelum belanda melancarkan politik hukum (islam politiek) di indonesia, islam mendapat tempat dalam berbagai kehidupan masyarakat muslim di belahan nusantara ini. Islam menjadi pilihan masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedaamaian bagi penganutnya. Namun, keadaan ini terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu.
Intervensi kolonial belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan keatangan VOC (vereenigde Oostindiscbe Compagnie) tahun 1596 di Banten. VOC datang ke nusantara dengan membawa dua fungsi, pertama  sebagai pedagang, kedua  sebagai badan pemerintahan. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Di daerah-daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai kolonial alhirnya membentuk badan-badan peradilan. Upaya ini tidak berjalan secara mulus, dan dalam penerapannya mengalami hambatan.
VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Pertengahan abad ke-18  belanda berusaha menyusun buku-buku hukum islam sebaga pegangan hakim-hakim pengadilan.
Ketika VOC dibubarkan dan menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum islam masih belum dapat diganggu gugat oleh kolonial. Seorang sarjana belanda berkesimpulan bahwa pada awal awal masa penjajahan belanda, bagi orang-orang indonesia yang beragama islam berlaku teora  receptio in complexu yang berarti orang-orang muslim indonesia menerima dan memberlakukan syariat islam secara keseluruhan.  Hukum islam dalam prespektif beanda  dan umumnya barat dipahami adalah hanya persoalan ibadah dan hal-hal yang terkait erat dengan rutinitas semata.
Pada abad ke-19, banyak orang-orang belanda baik dinegrinya maupun yang sedang berada di daerah hindia belanda berharap dan bercita-cita untuk menghilangkan pengaruh islam di nusantara dengan berbagai cara, diantaranya dengan proses kristenisasi. Hal ini samahalnya denga spanyol dan inggris dalam menjajah kawan muslim lainnya, seperti Serawak, Borneo (Brunei), Filipina, dan Thailan semasa itu. Yang paling ironis lagi adalah penilaian yang berlebihan bahwa hukum yang terdapat di indonesia adalah jahiliyah karena hukum isla yang diamalkan itu adalah warisan bangsa arab yang sudah kuno dan terbelakang.  Bahkan disebut hukum yang tidak berperikemanusiaan dan berperadaban, maka menjadi tugas mulia menurut mereka jika dapat menukarnya dengan hukum belanda yang modern dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Periode Tahun 1882 sampai 1937
Secara yuridis formal, Peradila Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di indonesia (jawa dan madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan putusan raja belanda Willem III pada tanggal 19 Januari 1882.
Kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama sebenarnya hanya persoalan waktu yang strategis saja, karena pemerintah belanda belum berani mencampuri masalah islam, oleh sebab itu abad ke-19 berkembang pendapat dikalangan ahli hukum belanda yang menyatakan di indonesia berlaku hukum islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Tetapi kebijakan untuk tidak mencapuri agama ini tampak tidak konsisten, karena tidak adanya garis yang jelas.
Pada awal abad ke-19 terjadi perubahan politik hukum, belanda merasa perlu memperlakukan hukum barat untuk semua golongan penduduk, termasuk untuk golongan bumiputera, istilah ini dikenal dengann teori unifikasi hukum.
Menurut Snouck lebih baik mencari jalan lain yang lebih jitu dan halus daripada memaksakan hukum belanda. Karena politik seperti ini akan membangun kebencian rakyat indonesia. Langkkah yang ditempuh yaitu dengan membentuk opini dan mempengaruhi serta mengacaukan image mereka terlebih dahulu dengan melahirkan teori receptie. Dengan tujuan agar antara adat, hukum islam dan hukum barat terjadi perbenturan. Jika pergumulan terjadi, maka hukum belanda yang telah didukung oleh kekuatan politik dan sarjana hukum didikan belanda yang loyal terhadap hukum produk belanda menjadi menguat. Sementara hukum islam dengan sendirinya akan melemah. Usaha ini ternyata efektif dan berhasil, sehingga sampai sekarang pun hukum islam berada dalam ketidak beruntungan di tanah air ini.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Politik Belanda terhadap Islam di Indonesia (Nusantara) pada umumnya dan hukum Islam khususnya dapat dibagi ke dalam dua periode. Pertama adalah periode pemerintahan VOC sejak 1596 hingga pertengahan abad ke-19. Periode ini diselingi dengan masa pemerintahan Inggris pada 1811-1816. Kedua adalah periode pertengahan abad ke-19 hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.
Peradilan agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya agama islam. Dengan masuknya agama islam di indonesia, maka tata hukum di indonesia mengalami perubahan. Hukum islam tidak hanya menggantikan hukum hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaanya, tetapi hukum islam telah menyebar di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal inilah yang mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan pengembangan peradilan agama di indonesia.


Saran
Penulis menyadari bahwasanya masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah, maka dari itu penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan saran atau masukan yang membangun, agar penulis bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah penulis perbuat dalam penulisan makalah ini.

Daftar Pustaka

Halim, Abdul. 2002. Peradilan Agama dalam politik hukum di indonesia. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Iqbal, Muhammad. 2012. Politik Hukum Hindia Belanda dan Pengaruhnya Terhadap Legislasi Hukum Islam di Indonesia, “Jurnal Ahkam”, IAIN Sumatera Utara, Vol. XII, No. 02, Juli 2012, Medan
Rosadi, Otong. 2012. Studi Politik Hukum. Thafa Media, Yogyakarta


Posting Komentar

1 Komentar

  1. As claimed by Stanford Medical, It's really the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh on average 42 pounds lighter than we do.

    (And actually, it really has NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING related to "HOW" they eat.)

    BTW, What I said is "HOW", not "WHAT"...

    TAP on this link to discover if this easy quiz can help you unlock your real weight loss potential

    BalasHapus

close
REKOMENDASI BARANG MURAH